Perempuan di titik Nol: Membaca Sastra dari negeri Arab
Perempuan di titik Nol
karya Nawal el-Saadawi
Yayasan obor Indonesia Jakarta 2006
Penerjemah Amir Sutaarga
Buku bersampul merah karya Nawaaw El
Saadawi tersebut bukanlah buku sastra dalam negeri melainkan sastra arab,
bertemakan penggambaran situasi sosial masyarakat di kota Mesir. Mungkin
ketertarikan saya pada buku ini, bukan karena judulnya yang begitu mencerminkan
diri sendiri (perempuan), alasan
terakhir buku ini adalah buku sastra
yang sudah tipis plus cukup membuat penasaran.
Hanya dalam sehari lamanya saya
menyelesaikan membaca buku Perempuan di titik Nol. Buku ini dituliskan Nawaaw,
seorang dokter ini merupakan kisah nyata dari perjalanannya ketika melakukan
penelitian tentang neurosis di sebuah penjara wanita di Mesir. Di penjara tersebut, ia justru menemukan
seorang tahanan wanita, bernama Firdaus,
adalah seorang pelacur yang sedang menanti detik-detik hukuman gantung
atas kasus pembunuhan kepada seorang laki-laki germo, namun ia menolak
mengajukan grasi kepada Negara. Dalam
pertemuan di penjara itu, Firdaus
menceritakan segala lika-liku kehidupan menjadi seorang pelacur sukses—ia
menyebutnya, kepada Nawaaw, sekaligus mengungkapkan segala realitas yang hadir
dalam masyarakat manapun, entah di Mesir atau di Indonesia tentang arti seks,cinta, kekuasaan, wanita dan
laki-laki.
Sebuah kisah
wanita pelacur "sukses" dengan perjalanan hidupnya, bagaimana pandangannya ketika
awal ia telah menerima kenikmatan atas bagian dari kehidupan manusia yakni
seks, hingga ia memilih untuk menjadi pelacur dengan harga yang sangat tinggi,
sebagai hak atas tubuh yang dia miliki. Sungguh cerita yang sangat menarik dan
menambah pengetahuan saya akan sastra pada khususnya, serta arti kebenaran,
keberanian dan kebebasan dari sudut pandang seorang wanita yang menjadi
pelacur. Membaca buku setebal 156 halaman ini pun, sungguh mengejutkan bagi
saya, bagaimana dunia sosial budaya di negeri timur tersebut cukup ironis dan
menyedihkan. Bahwasannya melalui
penggambaran kisah hidup Firdaus ini
memperlihatkan keterbelakangan dan kelemahan wanita dan betapa kuatnya
dominasi laki-laki di negeri Mesir. Namun, sebuah realitas sosial tersebut masih di
temukan di berbagai Negara sedang
berkembang seperti pada di Indonesia, bahwasannya persoalan ini meliputi pula
agama, dan segala yang menyangkut kedudukan
dan hak antara laki-laki dan wanita agar berada pada posisi yang
sebijak-bijaknya.
Pada buku ini
Firdaus menceritakan bagaimana ketidakadilan hidupnya, ketika ia memiliki ayah
yang bagaikan penguasa semena-mena, menang sendiri dan tidak peduli sedikit
pada keluarga. paman Firdaus yang menurut saya, adalah orang dewasa yang
pertama kali “merasakan” tubuh Firdaus, selanjutnya perlakukan keterpaksaan
Firdaus menikah dengan lelaki tua kayaraya nan pelit namun juga kasar. Kemudian
selanjutnya ia bertemu dengan banyak lelaki, namun hanya kekejaman dan
kekasaran fisik belaka ia peroleh dengan dalih kenikmatan dan niat ingin
membantu. Hingga pun ia pernah mencoba untuk “bekerja sesungguhnya” menjadi
seorang karyawati, akan tetapi tetap saja banyak lelaki yang ingin merasakan
tubuhnya.
Firdaus memiliki
berbagai pandangan dan penilaian selama ia menjalani kehidupan nya ketika salah seorang laki-laki suatu kali
pernah mengatakan bahwa ia adalah wanita “ tak terhormat”. Begitu banyak
kritikan pedas dan keras seperti kata Mochtar lubis pada kata pengantar di buku
ini, tapi mungkin juga terdengar sedikit cerdas, dan sangat bebas dari seorang
Firdaus menurut saya. Karena saya pun
percaya bahwa bagaimanapun, tentulah
siapapun entah dia adalah wanita terhormat dan tidak terhormat sekalipun
tentulah memiliki suatu pandangan tersendiri
tentang arti dan makna terdalam suatu kehidupan dan hal apapun. Buku ini
memang ditulis oleh dokter Nawaaw yang juga sekaligus penulis feminis pejuang
hak-hak wanita. Sedikit banyak pandangan Gender, Feminisme bisa jadi mewarnai
tulisan ini, meski memang inilah realitas langsung dari kognitif si pemberi
kisah (Firdaus). Sastra ini setidaknya mencerminkan kultur sosial masyarakatnya. Coba lihat beberapa patah kata yang diucapkan
Firdaus, dalam buku Perempuan di Titik Nol begitu membuat kita
berpikir dan merenung, dan begitu pedaaass!!!
“Saya tahu bahwa profesi saya diciptakan oleh lelaki,
dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang ada di
alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga
tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri.
Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang
pelacur yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi pelacur bebas daripada menjadi
istri yang diperbudak. Setiap saat saya memberikan tubuh saya, saya kenakan
harga yang paling tinggi”. (h)
Komentar