Temanggung: Sebuah Kota Tembakau di Jawa Tengah

 
Temanggung adalah sebuah kota tempat kelahiran Bapak. Kami memang terhitung jarang pergi mudik ke kota di Jawa Tengah ini, karena disamping jarak yang jauh, dan tentusaja hitungan ekonomi biaya yang tidak sedikit dan terduga. Namun, sebagaimana kita pahami, tradisi mudik ini seringkali tidak bisa disamakan dengan nominal secara rasional. Melainkan ada suatu kewajiban moral, bagi seorang anak untuk datang menemui kedua orangtuanya selagi masih dapat berkumpul bersama. Meski  kata diwajibkan tersebut relatif, namun sebgian besar orang Indonesia sangat mengusahakan ritual tahunan ini. Sederhananya, dimanapun berada keluarga memang sangatlah penting.

Biasanya, bapak setiap tahun akan mengusahakan pulang ke Temanggung, meskipun saya, dan adik-adik dan ibu tidak juga ikut berkunjung ke rumah embah. Perjalanan menuju daerah Jawa tengah, lebih banyak kami lalui di waktu malam. Sehingga, untuk memperoleh bus ke daerah antar propinsi tersebut dicapai dengan pergi ke terminal Bungurasih, Surabaya. Disini bis menuju propinsi maupun dalam propinsi bertebaran, dari yang menuju ke arah semakin timur atau ke barat. Kami pun memilih bis “Indonesia” dengan tarif per orang Rp. 105.000.  Saya ingat ketika saya dan adik-adik masih kecil, kami biasa pergi ke Temanggung dengan menaiki bus patas eksekutif “Safari Dharma Raya”. Ini adalah salah satu bis yang kami kenal bagus mulus nan enak! Namun, karena ini merupakan perjalanan tak terduga, maka samasekali tidak ada rencana untuk membeli tiket bis berangkat terlebih dahulu maupun untuk pulang. Seperti biasanya, bis malam akan memberikan fasilitas makan untuk para penumpangnya. Ya, sekitar jam 12 bis sampai di rumah makan “Rasa Utama”, bagi kami para “pengelana malam”. Perjalanan di hari Idul fitri terlihat cukup ramai lancar. Bis ini pun tidak serta merta membawa kami langsung ke kota tujuan, karena di Bungurasih tidak ada bis yang langsung menuju Temanggung. Jikalau ada yang paling banyak mendekati adalah bis tujuan Yogya, Solo,Madiun, seperti bis Eka-Mira (bis bernama perempuan). Dan kebetulan bis yang kami naiki ini adalah bis tujuan Semarang. Tentunya kami pun harus “oper”, alias berpindah bis. 

Di Terminal kota Semarang, kami kemudian berpindah bis arah Wonosobo. Perjalanan ini telah memasuki suasana pagi di hari Jumat, sungguh pemandangan yang sangat mengesankan. Meski pagi buta, namun kota Semarang terbilang unik karena kontur wilayahnya yang seperti bukit, ada perumahan di atas jalan dan dibawah. Tak kalah keren, cahaya pagi mulai mencarkan suasana kesejukan, memasuki daerah ambarawa, ada persawahan, kemudian semacam bukit dengan rel kereta api. Mudik yang mengasyikkan dengan bonus wisata “berjalan”.

Temanggung
 
Tidak banyak yang berubah dari kota yang dikenal sebagai daerah penghasil tembakau ini. Udaranya tetap dingin dan hampir menyerupai rasa dingin di kota Malang. Menurut bapak, Temanggung dikelilingi oleh tiga gunung (Sumbing, Sindoro dan Merapi). Ada beberapa tempat wisata yang biasa kami kunjungi, namun tahun ini tidak kami kunjungi, adalah pemandian Pikatan Indah. Gambar disamping adalah Alun-Alun yang berada di tengah kota, meski kota kecil, namun Alun-Alun yang besar dan terletak didekat Masjid, dan Kantor pemerintahan. Disini kita dapat menghabiskan waktu sore hari bersama keluarga, dengan membeli bakso uleg, sebagai sajian khas, dan sup buah. Banyak keluarga berkumpul dan anak mereka menaiki becak mini atau sejenis permainan seperti odong-odong.
Rumah embah berada di sebuah daerah yang dikenal dengan nama “Dongkelan”. Sebuah rumah yang terletak di wilayah kampung. Terhitung mulai tahun ini, rumah mbah tidak seperti dulu lagi. Halaman depan kini bukanlah menjadi milik kami sekeluarga. Ada kerabat lain yang telah menghuni. Dan dari “perpecahan” rumah halaman depan menjadi satu bagian tersendiri, dan bagian lainnya menjadi rumah mbah sekarang, sehingga kini ada dua pintu depan, dan dua pintu belakang. Bahkan, letak pintu belakang rumah saudara tersebut bersebelahan tepat dengan pintu depan rumah mbah. Di rumah mbah kerabat dari bapak berkumpul meski tidak lengkap. Selama 2 hari menghabiskan waktu berkualitas bercengkrama, bertukar pengalaman, berbagi cerita suka maupun duka, berbagi saran untuk pengobatan, nostalgia mengingat yang lalu dan sedang berlangsung, dan seputar inilah perbincangan yang mengalir diantara kami.

Komentar

Alfi Indah K Mj mengatakan…
weh2.. penasaran sama bakso uleg jadinya mb.. ;)

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar