Ketika Air Tak Lagi Jernih, Tak Lagi Bersih: Pengalaman Masyarakat Desa di Pinggiran Air Sungai di Kabupaten Lamongan (Lomba penulisan kreatif #FestivalMedia2013)
Air ibarat sebuah
nafas bagi kehidupan. Air adalah sumberdaya yang menghidupi mahkluk di
bumi. Berjuta-juta air yang setiap hari
mengalir, mengisi sendi-sendi kebutuhan pokok kita. Namun, pernahkah kita
membayangkan jika suatu hari air menjadi suatu sumberdaya yang langka dan tak
mengalir lagi di dunia? Atau pernahkah kita membayangkan jika suatu hari air
yang kita konsumsi tidak lagi jernih, tidak lagi bersih?. Dalam tulisan ini,
saya memberikan sketsa mengenai sebuah kehidupan desa di Lamongan yang setiap
hari dekat dengan kehidupan air.
Keberadaan
air menjadi sumberdaya yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Sebagaimana kehidupan
masyarakat di sebuah desa di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, tepatnya di desa
Rejotengah, yang bergantung dengan air. Mata pencaharian masyarakat memegang
kendali pada ketersediaan air. Kehidupan ekonomi masyarakat berputar melalui
siklus dari dua sektor pembudidayan, yakni sawah dan tambak yang membutuhkan
ketersediaan air.
Panen
tambak terjadi dalam 1 tahun selama 3-4 kali.
Siklus dimulai pada bulan
1,2,3,4, kemudian panen ikan-ikan dapat berupa ikan bandeng, udang dan sombro yang
terbagi dalam jangka waktu 70 hari. Setelah masa tambak usai dan ikan telah
dipanen, maka di lahan yang sama akan dialihfungsikan menjadi sawah. Bahkan
sawah di desa ini cenderung basah dan berair karena pada saat yang sama, masih
diberi benih ikan tambak.
Sebelum
menjadi sawah, air tempat tinggal ikan tersebut harus disedot terlebih dahulu. Penyedotan
air tambak dilakukan menggunakan peralatan teknologi, bernama Blower yang dilengkapi dengan mesin
diesel. Air bekas tambak kemudian disalurkan ke dalam sungai yang terletak
tidak jauh dari sawah dan tambak. Menurut masyarakat setempat, setelah panen
selesai, maka tidak ada lagi kegiatan selain menanti datangnya “musim air”
kembali. Pada bulan 8 (Agustus) adalah bulan memasuki musim kemarau. Bulan
Agustus, menurut bahasa jawa bisa diartikan “tus”. Untuk memasuki musim panen
tambak lagi, sebagaimana yang diungkapkan oleh ibu Mujiati, warga desa setempat
yang mengungkapkan, “Ngenteni air hujan
turun lagi”. Adapun pendapat lain, dari ibu Sumirah, jika musim ini adalah
“rendeng gandeng”, merupakan siklus dua tahunan yakni kondisi memasuki bulan 5
(Mei) tetapi masih musim hujan. Siklus kehidupan pun kembali berlanjut pada bulan
12 (Desember) yang telah mulai memasuki musim tambak ikan.
Dari
pengalaman masyarakat tersebut, bahwasannya ketersediaan air, baik air hujan, maupun
air sungai menjadi penopang utama kehidupan matapencaharian mereka. Ketersediaan
air dalam jumlah melimpah, atau hingga bahkan kekeringan, memberikan dampak
sistemik terhadap kelangsungan hidup. Keberadaan air di desa ini menjadi energi
utama bagi masyarakat agar lahan pangan mereka dapat menghasilkan panen yang
mencukupi segala kebutuhan. Apabila kualitas air sungai menurun akibat
pencemaran, tentu akan berpengaruh pada kegiatan lain yang bertumpu pada air
sungai. Namun, disisi lain, masyarakat belum memahami
dan menjaga sepenuhnya guna air sungai dalam kehidupannya. Hal ini menjadi
pemicu adanya degradasi lingkungan, utamanya permasalahan pencemaran air dan pembuangan
sampah.
Kesadaran
membuang sampah menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam menjaga
kebersihan suatu lingkungan. Keadaan pemukiman masyarakat Rejotengah yang dekat
dengan wilayah sungai ini menjadikan sungai tersebut selain menjadi penampung
dari saluran pembuangan rumah tangga, pun bagaikan “tempat sampah raksasa”.
Tampak sampah rumah tangga menggenang dipermukaan air sungai, baik yang masih
mengalir maupun tidak. Sampah-sampah ini sangatlah dimungkinkan menjadi
penyebab penyakit dan pencemaran, sehingga pola perilaku hidup bersih dan sehat
sepertinya belum berbudaya bagi masyarakat disini. Tentu adanya pola membuang
sampah di dalam sungai ini telah mengalami proses panjang, sehingga tumpukan
sampah semakin bertambah. Padahal, disaat yang sama, air sungai ini yang memberikan
manfaat bagi kelangsungan hidup sawah dan tambak.
Memahami
permasalahan yang tak harmonis ini, tentu dibutuhkan pemikiran arif dan
bijaksana dalam upaya menjaga kelestarian sumberdaya air. Kebudayaan tentu akan
mengajarkan nilai dan menanamkan sikap untuk menjaga, merawat, dan tidak
mengeksploitasi alam yang sudah memberikan banyak manfaat bagi manusia. Namun,
kesadaran inilah yang tampaknya belum “membudaya” bagi masyarakat. Bisa dibayangkan,
jika tidak air-air sungai mengalir, maka sawah-sawah dan tambak pun tak ubahnya
lahan kosong tanpa garapan.
Perubahan
pola hidup, mengubah perilaku membuang sampah di sungai, menjadi sikap yang
sederhana, akan tetapi bermakna bagi kelangsungan sumberdaya air. Tak dipungkiri,
akan menjadi tidak sederhana ketika harus mengubah perilaku masyarakat. Namun,
tak ada salahnya, sikap ini dapat kita lakukan mulai saat ini, berawal dari diri
kita sendiri. Semangat perubahan ini kemudian diharapkan menjadi pemantik
semangat bagi tetangga, dan seluruh komunitas, untuk bersatu padu dalam menjaga
lingkungan alam. Menjaga ketersediaan air yang berkualitas bagi anak cucu kita J.
*Hanifati AR, seorang mahasiswi.
Komentar