September Ceria or Wake Me Up When September End?

Hello September!
You  will end with all the problem that going through.

September. Terlalu banyak dinamika yang terjadi di bulan ini. Bulan ini bagi saya  menjadi bulan “inisiasi” sekaligus “transisi” untuk mengenal dunia: kuliah kerja nyata. Memang belum berakhir pelaksanaanya dan bahkan belum dimulai kerumitan laporannya.
Seperti pagi ini, ketika suara-suara meminta untuk didengar. Selalu didengar sampai kapanpun. Suara mahasiswa.
Gemuruh riuh mahasiswa berorasi dengan diiringi lantunan kalimat laillahailallah di sekitar kantor DPRD Kota Malang. Sambil membawa properti demonstrasi berbentuk mirip keranda mereka letakkan di depan kantor. Bendera kuning mereka bentangkan, bendera merah putih ditenteng dan tulisan-tulisan aspirasi mereka bawa dan diangkat tinggi-tinggi.  
Rupanya dewan dan suara mahasiswa ini bagai gayung bersambut. Usaha mereka pun diterima dan diperbolehkan untuk menyampaikan aspirasi di depan para dewan secara langsung.

Aspirasi mahasiswa PMII

Aspirasi yang dijaga langsung oleh aparat keamanan
Aspirasi mahasiswa sambil membawa keranda sebagai simbol matinya demokrasi 

Para anggota dewan yang menerima aspirasi mahasiswa

Koalisi Kalian Membunuh Kami

Hearing mahasiswa dengan anggota dewan

Demonstrasi, unjuk rasa, melakukan aksi, aspirasi, orasi atau pengaduan bukan kali pertama atau sekali-kali terjadi di wilayah pemkot dan kantor DPRD. Ini merupakan perisitiwa demo kedua selama saya magang yang terkait dengan UU Pilkada. Hari ini, banyak polisi, wartawan bertebaran di kantor. Para polisi tersebut berujar pada saya dan teman-teman, tentu karena melihat kami mengenakan almamater kesayangan, mereka mengira kami yang sesama mahasiswa adalah teman mereka mahasiswa yang berdemo: kok tidak ikut?. Mahasiswa memang punya kepentingan dan peran. Dan kini kepentingan itu adalah saya dan teman-teman adalah magang sebagai syarat untuk mencari sesuap nilai. Apatis kah?. Tentusaja tidak.  

Tahukah jika saat-saat inilah, jiwa kerakyatan mu memang benar-benar dipertanyakan: 
Dalam aksi penyampaian aspirasi tersebut berkumandang lagu-lagu dari album mahasiswa aktivis perjuangan seperti buruh tani dan yang paling tidak nahan adalah saat yel-yel sakti: "Hidup mahasiswa, Hidup rakyat Indonesia". Disaat-saat genting terjadi suatu demonstrasi/aspirasi, ruang batinmu yang terdalam meronta-ronta untuk minta diaktifkan tapi terlalu banyak pilihan: 
1. adalah rakyat yang dapat menempuh pendidikan tinggi sehingga disebut menjadi  mahasiswa,
2. mahasiswa orisinal tanpa label organisasional manapun, 
2. menjadi insan pers mahasiswa yang bersiap dalam perjuangan suci dunia liputan,
3. atau menjadi mahasiswa yang memiliki salah dua label sosial diatas, namun kebetulan sedang magang di kantor DPRD. 
Pilihannya adalah, dapatkah saya yang memilih pilihan diatas atau dipilihkan. Kalau di dunia novel, sebenarnya ini sudah disebut sebagai konflik batin. Mungkin saya tidak akan mengerti maksud di hari ini, namun suatu hari nanti, jawaban-jawaban dan alasannya akan diketahui, suatu hari.     

Terlalu banyak pula kabar-kabar yang datang dan pergi. Bahkan saya menulis update status lebih dari satu kali dan itu terlalu mendalam untuk dipahami awam.
Demokrasi yang tinggal sebentar lagi tinggal kenangan, jika semua manuver politik dan elit yang menang.   
Entah apa.


16 September 2014
Percakapan Tuhan Dengan Seorang Gadis
Gadis : Tuhan, saya merasa lelah 

Tuhan : Aku Tahu, katakanlah 
Gadis : Tuhan, saya terlalu resah dan gelisah
Tuhan : Aku Tahu, katakanlah 
Gadis : Tuhan, haruskah saya marah 
Tuhan : Aku Tahu, katakanlah 
Gadis : Tuhan, saya bukanlah malaikat....
Tuhan : Aku Tahu, kau bersalah karena telah mengaku menjadi malaikat. jangan pernah hanya menyerah. kau hanya butuh pasrah, kau hanya butuh hidayah.


19 September 2014
--Kisah Si Pohon Harapan--
Ada akar, ada batang. Ada dahan dan ada cabang. Bijinya ditanam dengan bukan sekedar pilihan. Si “pohon harapan” berharap menghasilkan buahnya yang terbaik. Paling baik. Tapi, bisakah si pohon harapan tumbuh dengan sendirinya?. 
Sang petani mengerti jika pohon harapan selalu takut dengan dunia luar yang tidak toleran. Masalah besar mereka adalah predator. Si pohon harapan bisa dengan tiba-tiba dicabut. Bagian-bagiannya dipotong, dirusak, dicabik-cabik, segala bentuk pertumbuhan pohon harapan menjadi tak bergairah. Cuaca ekstrem pun bisa sangat menganggu. Apakah sangat dingin, sangat panas. Pohon harapan terbiasa tak kuasa dengan semua badai ini. Selama ini pohon harapan hanya merasa ia tumbuh sendiri. Merasa tumbuh sendiri. 

Lalu, apa yang menjadikan pohon harapan tetap bertahan?. 
Petani tidak sendiri dan berdiam diri untuk menumbuhkan si pohon harapan. Pertumbuhan demi menghasilkan buah terbaik. Pohon harapan harus disinari Sang mentari, yang selalu memberikan kehidupan, menghangatkan serta memberikan kekuatan. Pohon harapan juga harus disirami air, yang senantiasa menyejukkan, selalu menyegarkan. Tak lupa, diberi pupuk terbaik agar semakin subur gembur. Dan si pohon harapan merasa menjadi tanaman yang paling beruntung. 
Hari berganti dan waktu berlalu. Si pohon harapan sedang memperlihatkan tanda-tanda akan menghasilkan buahnya. Si buah harapan telah tampak mesti sangat kecil. Sangat lemah. Sangat. Pohon harapan kemudian berbuah tepat pada waktunya. Setelah lama dinanti, ia akan berbuah pertama kali di musim ini. Si pohon harapan akhirnya tumbuh untuk pertama kalinya: si buah harapan. Sayang, ia berbuah tak langsung terasa manis, tapi juga tidak asam. Setidaknya, ia berhasil menjadi buah yang pertama meski tak merekah-rekah indah. 
Sesuatu yang sangat dinantikan dan diimpikan oleh si petani. Adakah si petani puas diri?, adakah si petani mensyukuri?. Adakah janji yang harus ditunaikan petani?. Namun, satu hal pasti, pohon harapan telah menunaikan janji dan kewajibannya. Dengan tetap optimis di musim mendatang si pohon harapan akan berjanji untuk berbuah lagi, bukan sementara, tapi selamanya.


Kini, petani dalam kisah ini perlahan telah terdaftar dalam kelompok tani, diakui dalam dunia persawahan. Lalu, dapat dipertanyakan kembali: Sesuatu yang sangat dinantikan dan diimpikan oleh si petani. Adakah si petani puas diri?, adakah si petani mensyukuri?. Adakah janji yang harus ditunaikan petani?. Semoga. 



Badai pasti berlalu, atau saya akan memilih tembang Badai Bulan Desember.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar