Antropologi ditengah Pasar


Selasa yang lalu, prodi antropologi mengadakan sebuah pertemuan, semacam pertemuan untuk berdiskusi, yang bahasa kampusnya disebut “lokakarya”. Adalah lokakarya kurikulum yang diikuti para dosen dan mahasiswa yang diwakili oleh Himaprodi. Ternyata, dilokakarya ini, tidak hanya diikuti oleh dosen internal, tapi beliau-beliau juga mendatangkan pakar, seorang profesor antropologi, dari UI, yakni Pak Amri Marzali untuk "berguru" dan saling bertukar pendapat tentang penyusunan kurikulum.  
Saya terkesan sekali karena bisa mendapat—kebetulan kesempatan untuk melihat secara langsung dan bersalaman dengan Pak Amri. Karena beberapa hari hari lalu, sebelum tahu kalau beliau ke Malang, ada di dunia antro FIB, UB dalam beberapa jam, sempat membaca buku bunga rampainya Tania Li dan terdapat tulisan kata pengantar dari beliau. Tulisan pengantar ini cukup menggelitik saya pada satu sub, yang diberi judul “romantisme antropologika”:D
Tapi jauh sebelum tiba disemester ini, pernah suatu kali saya mencari buku diperpustakaan pusat. Waktu itu mungkin sedang ada tugas (entah makul apa dan semester berapa) yang mengharuskan saya untuk oprek-oprek cari buku. Sekilas ada buku berjudul antropologi pembangunan dan kebijakan publik mungkin ya..pokoknya yang menulis ya Pak Amri itu. Entah kenapa saya juga bukan baca isi bukunya, tapi baca halaman pengantarnya. Karena saya lagi-lagi tergelitik karena sub judul yang ditulis oleh beliau dibuku tersebut, sekilas saya baca halaman tersebut. Tahukah apa sub judulnya? “bisa jadi apa setelah lulus sarjana antropologi?” mungkin diantara teman-teman juga pernah menemukannya? dan membacanya? Ditulisan itu ada cerita pak Amri dan dekannya—mungkin saya suka bagian-bagian seperti ini, dijurnalistik, cerita ini seperti feature, yang berkisah tentang dibalik pengalaman seseorang.
Intinya dalam tulisan di sub bab tersebut Pak Amri ditanyai oleh pak dekannya, tentang tujuan belajar antropologi, lalu setelah lulus mau jadi apa. Ternyata jawabannya sama seperti kalau kita ditanyai oleh orang—diluar jurusan kita sampai hari ini. Sekenanya. Tapi dalam tulisan tersebut, pak dekannya bilang ke pak Amri: ”kamu berkewajiban membawa bangsa primitif itu ke dunia kemajuan, karena mereka adalah juga bagian dari bangsa Indonesia”.  
Nah, setelah saya baca keseluruhan dari tulisan ini, yang saya ketahui adalah naskah pidato pengukuhan guru besar (akhirnya saya baca versi penuhnya yang ternyata ada di jurnal AI hanya dengan mendownload saja). Dalam tulisan pidato itu Pak Amri bilang “tetapi ada sesuatu yang lain, yang bahkan mungkin paling penting dalam mendorong hasrat seseorang. Sesuatu itu adalah tentang hal yang dapat diberikan oleh disiplin ilmu tersebut untuk kehidupan pribadi seseorang setelah selesai kuliah”. Hmm..daleeeeeem banget nggak sih? Kalau dikaitkan dengan kekinian....eaaa... berhubung saya juga masih skripsian, jadi masih belum tahu sesuatu ini bentuknya bakal seperti apa dan bagaimana hehehe.
Oke, intinya pidato tersebut pak Amri berkeluh kesah dan menawarkan kepada generasi penerus—mahasiswa pembelajar antropologi untuk kembali memikirkan kegunaan ilmu kita untuk pembangunan bangsa, atau judulnya adalah “antropologi terapan”. Serta dalam tulisan ini dilemparkan pula pertanyaan-pertanyaan, tantangan yang sebenarnya bisa menjadi celah bagi kita untuk perlu mencari jawabannya. Selain itu, dijelaskan pula mengenai ideologi antropologi terapan, yaitu etnosentrisme vs relativisme, konsep-konsep penting dan ulasan singkat mengenai “kenapa sih kita sebaiknya belajar antro terapan/pembangunan?“.
Disini saya tidak membahas banyak tulisan pidato, terutama “isi”nya tentang terapan dan pembangunan itu, karena tulisan tersebut pun juga merupakan pengantar, atau ide yang masih bisa ditelusuri lagi dengan literatur-literatur. Atau mungkin coba kalau mau baca naskahnya baru diskusi bersama (dikasih deh artikelnya!) klik sini ya :D
Dampaknya setelah membacanya, saya hanya merasa tergelitik, ternyata dalam pidato pak Amri tahun 2002, pun sampai hari ini, dijaman instagram dan wifi yang sudah tercecer dimana-mana ini.. masih ada pertanyaan-kegalauan tentang antropologi dan masa depannya.. Sekarang ini, tahun 2015, yang katanya tahun MEA, kondisi yang sudah tidak diukur dengan fungsi saja, tapi juga nilai jual ekonomi dan pasar. Jadi, bahkan untuk menjadi lulusan sebuah kampus pun kita harus berpikir bagaimana kita “laku dan dapat bersaing” di pasar? Halo, sebenarnya kita orang apa barang ya? (sekalian aja tiap mahasiswa dikasih label gitu?) Hahaha.. nah apalagi, kampus kita terkenal punya banyak mahasiswa... terus katanya baca-baca diinternet, sekarang itu lagi bonus demografi, anak muda, pemuda, lagi banyak-banyakya dan merekah-merekahnya. Nah, terus hubungannya sama antropologi apa? Sama artikel pidato Pak Amri?
Disini saya nggak akan membuat semakin “gaduh”. Saya disini akan memberikan “suara”. Ideologi ini saya dapat ketika mengikuti seminar keren dari salah satu media besar Indonesia. Waktu itu dikatakan bahwa berita-berita media mereka berusaha memberikan “bukan noise, tapi voice, meyakinkan pembaca dan menjadi “early warning system” dan pokoknya banyak deh ilmu dari sini bisa jadi satu tulisan sendiri lagi... Karena media masa kini itu, setiap ada masalah negatif apa/pemberitaannya semakin dikupas dan diblow up, dengan sudut pandang itu-itu saja dan lebih banyak pesimisnya.
Kembali ke intinya, hal yang paling mudah untuk merespon “pasar” tersebut adalah mengubah paradigma dan pandangan kita, tentang jurusan kita. Seperti juga kata pak Anies Baswedan yang saya baca disalah satu buku biografi, anak muda harus membangun pemikiran kritis-optimis, bukannya kritis-pesimis. Mungkin, kita harus berkaca, merenung lagi, tentang “eksistensi” kita dijurusan antropologi. Mungkin kita saat ini kita sedang berkuliah, diterima dijurusan ini karena pilihan kesekian (hahaha saya juga) atau karena salah klik sekalipun pas milih-milih di snmptn. Tapi ya seperti kata pepatah, “jika nasi sudah menjadi bubur”....sekarang ada lanjutannya ”dikasih suwiran ayam, dikasih cakue, dikasih kecap dan santan, jangan lupa krupuk” biar bisa dimakan dan rasanya enak banget. Jadi, kita coba cari si suwiran ayam, si kecap, cakue dsb. Ini berarti plan A plan B, atau hobi  A, keahlian B, bisa C dsb. Karena dijaman smartphone sekarang ini, orang pun diminta bisa multitasking, multijobdesk, tapi dengan syarat dan ketentuan juga.
Aksi nyatanya sendiri adalah ya kita “menyiapkan diri”, mencoba menjadi mahasiswa antropologi yang menyukai paling nggak bidang/hal-hal lain juga. Mudahnya, ada hal lain yang kita suka, misal suka kegiatan sosial, suka seni, suka bisnis, suka belajar pun juga nggakpapa, hal apapun pokoknya cari sampai ketemu! Persiapkan dari sekarang. Untuk kemampuan menulis, membaca, organisasi dan public speaking and have ability in english language (lagi belajar jugaaa) nggak bisa ditawar lagi anak muda—semua mahasiswa sekarang harus punya. Yang saya tawarkan ini bukan berarti saya sudah ngehits dan mencapai semua yang disebut tadi, tapi ya itu tadi, mencoba menawarkan dan membagikan saran-saran saja. Karena, saat kita sudah merasa oke, sesungguhnya diluaran sana ada banyak hal yang lebih, lebih dalam dan luas untuk kita ketahui lagi.
Kalau dikaitkan dengan antropologi terapan dan masa depan, ini bisa menjadi bahan motivasi dan inspirasi, menjadi salah satu pertimbangan penelitian seperti apa yang hendak dilakukan. Saya juga belum mengetahui sebaran penelitian mahasiswa antropologi seantero Indonesia apakah juga (berpandangan sama) tertarik dengan isu-isu pembangunan yang relevan dengan kekinian. Apakah juga mahasiswa antropologi sudah mulai kolaborasi dengan ilmu lain? Mungkin ada persiapan-persiapan yang harus dilakukan dulu? Oke, tulisan ini sebenarnya adalah remah-remah yang tumpah, namun boleh dibilang masih renyah untuk dilahap (walaupun kurang kenyang) hahaha...


*P.S karena skripsian itu tidak sama seperti membuat pisang goreng yang tinggal aduk-aduk masukkan, dan goreng...jadi saya harus mengasah merangkai (ibaratnya masak yang lebih banyak bahan) kata lewat menulis blog ini dulu :D
salam ramadhan~

menemukan ini dari linimasa sebelah dan sangat mendalam!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)