Pengalamanku Merasakan Angkot Harga Tujuh Ratus Perak Hingga Transportasi Berbasis Daring

Membicarakan polemik transportasi di Indonesia saat ini begitu panas layaknya berita ala Pilpres 2014 atau Pilkada DKI lalu (eh, apakabar Pilkada, berasa manusia gua yang jarang menatap layar kaca nih saya, haha). Khususnya sejak kehadiran transportasi berbasis online yang beberapa waktu ini kabarnya “mengusik” ke- adem-ayem-an transportasi konvensional alias transportasi umum.

tewur (google.com)
Jaman dahulu, ketika saya masih SD (sekitar tahun 2000an, pokoknya yang saya ingat lagu Misteri Ilahi-nya Ari Lasso) pun sudah “kendel/berani” naik transportasi umum. Sebut transportasi umum itu adalah angkot a.k.a mikrolet. Hahaha. Si angkot biru di Malang.  Indikator berani pulang dan berangkat sendiri, berani menyeberang sendiri, men-cegat angkot biar berhenti. Ketika itu SD saya di perempatan dekat lapangan Rampal, sedangkan rumah saya di Sawojajar yang mana dilewati jalur angkot CKL dan MM. Berapa naik angkot dari rumah ke sekolah di jaman itu? Rp. 700,- tujuh ratus perak!! bensin masih berapa ya waktu itu. Masih membekas dalam ingatan saya, saya agak (sebenernya banget) takut-takut pada waktu itu, masih kecil, SD kecil, kalau angkot penuh dan sudah terlanjur nyegat angkot itu artinya siap-siap duduk di pinggir pintu. Yah, seenggaknya kalau duduk dipinggir pintu bisa dapat sensasinya kesegaran hahaha.

Tahun berganti tahun, saya tumbuh, saya naik kelas dan naik ke jenjang SMP dan SMA. Di dua jenjang ini saya tidak menjalani ritual naik angkot untuk pergi ke sekolah sebagaimana di masa SD. Hal itu dikarenakan sekolah SMP saya dekat masjid dan lapangan, SMA saya juga dekat masjid dan lapangan. Jadi di mana kah sekolahan saya? Lebih tepatnya, sekolah SMP dan SMA saya masih di lingkungan sawojajar banget, bisa dihabiskan dengan berjalan kaki. Itulah kenapa saya kurus (banget, haha). Oleh karena ke sekolah bisa ditempuh dengan jalan kaki, jadinya ya berangkatnya ngepas dan bahkan pernah telat (sekali dua kali pernah lah, sebagai pelajar seumur hidup pasti pernah kan, haha). Kalau telat diapakan? Orang tua dipanggil ke sekolah. My god. Efeknya adalah memalukan dan berkesan (makanya keinget terus dan nggak mau terulang lagi).

Barulah memasuki masa kuliah sekitar tahun 2011, saya mulai move on. Move on-nya pun tidak begitu jauh yakni sekitar 5 Km. Oleh karena tempat saya kuliah masih di Malang, di Jalan Veteran. Di awal kuliah memang saya tidak seratus persen menjadi anak racing—anak motor—hal itu juga dikarenakan internalisasi dunia mengendarai motor sedang berlangsung di diri saya. Seingat saya belajar naik sepeda motor sekitar kelas 3 SMA dan mulai berani kendel menghadapi jalan adalah ketika semester-semester akhir. Pada waktu kuliah saya selalu berangkat bersama partner goncengan motor, karena rumah kami berdekatan, Yuyun, si arek Tumpang, Hahaha. Di beberapa waktu saya juga masih menggunakan transportasi biru, yakni angkot yang tidak bisa dicapai hanya dengan sekali berangkat. Sawojajar-Veteran membutuhkan setidaknya dua kali naik angkot berbeda, yakni CKL-AL atau MM-AL. Pada waktu itu harga untuk sekali naik angkot sudah mencapai Rp. 4.000,-. Wow, sudah berapa kali lipat naiknya sejak jaman saya SD. Jadi, seandainya saya berangkat kuliah dengan full menggunakan angkot, setidaknya saya harus mengeluarkan rupiah sebesar Rp. 4.000,-.X 2= Rp. 8.000,- itu berangkat, kalau pulang sama juga, jadi total : Rp. 16.000,- wow, kalau beli bensin buat berapa hari bisa itu.

Apa asyiknya naik angkot? Suka dukanya? Seru kalau naik angkot full musik dengan bass mantap jiwa. Dan sebal kalau penumpang angkot ada yang merokok daaaaaan ini yang paling nggak nguati, sopir nge tem (menunggu angkot penuh/terisi dengan penumpang) begitu laaaaama dan padahal dalam hati si penumpang (macam saya ini yang berangkatnya suka ngepas-ngepas) sudah gemes kok nggak budal-budal se. Tapi itu terjadi di jam-jam tertentu. Kalau jam pagi, angkot akan lebih cepat full dan berangkat dengan anak-anak seragam, SD, SMP yang belum bawa motor (ya kayak saya dulu lah), ibu-ibu atau pegawai. Dan angkot-angkot arah menuju ke sekolah dan perguruan tinggi lebih ramai. Sebut saja AL. Angkot ini bisa dibilang ramai karena menghubungkan tempat berkumpulnya mahasiswa mudik dengan tempat mahasiswa kuliah. Arjosari dan veteran. Ya, ketika mahasiswa turun dari bis, menuju ke kos, dari Terminal Arjosari, bahkan harga angkot bisa seperti sulap, wow-berubah. Saya pernah dan tidak heran mengalami ini. Di terminal juga tersedia bermacam moda seperti taksi, ojek, atau jemputan teman.

Lalu, seiring waktu berlalu, hape keyboard masih qwerty sebesar tepak mulai tergeser dengan kehadiran hape layar semua dan cuma disentuh-sentuh saja. Sejak kita bisa membeli barang hanya dengan klik dan sentuh hape saja, transfer, lapor kirim beres terima barang. Segalanya menjadi mudah. Moda tranportasi di Indonesia kini mulai bertranformasi. Pada saat saya lulus sarjana, kemudian saya melanjutkan kuliah lagi hingga merantau ke kota Gudeg, saya juga tidak menyangka saya terlibat intens dengan moda transportasi berbasi online ini.

Oleh karena di kota kelahiran saya, Malang, saya sendiri bisa dibilang tidak pernah menggunakan ojek baik yang online maupun yang offline. Selain karena ya mungkin pas belum booming seperti sekarang dan memang ada persepsi menurut saya jika ojek itu ya adanya di pedesaan. Dalam kenyataanya di kota saya dulu, saya lebih sering menggunakan transportasi umum angkot. Namun ketika saya merantau di provinsi yang dipimpin oleh Gubernur serta Raja ini, ojek menjadi hal familiar dan krusial bagi saya, baik yang offline maupun online.

Pada awalnya saya tidak langsung menjadi konsumen moda transportasi yang sedang dibicarakan itu, tapi saya merasakan naik ojek lokal offline alias lokal bersama adik untuk berkunjung ke tempat wisata Imogiri, Bantul. Namanya juga ojek wisata, ya tentu saja ada manajemen paguyuban ojeknya. Tentu saja ramah, dan berjiwa hospitality karena namanya juga daerah wisata. Ketika kami pulang, mereka meminta untuk menyimpan nomer hape mereka di kontak.  Di kota, di lingkungan antara kampus dan kos, dalam beberapa kesempatan kepepet (takut telat) kuliah saya memesan ojek offline. Dan alhasil, si bapak ojek juga bisa ramah, harga ya, waktu itu kos saya Blimbingsari ke gedung lengkung Pogung sekitar Rp. 10.000,- dan pulangnya saya disuruh simpan nomer hape bapak ojeknya. Di dekat kosan saya juga ada ojek merek lokal, dalam arti ada naungan nama dan manajemen perkumpulan, pokoknya nama depan mereknya O. Beberapa kali saya menjadi penumpang setia ojek ini karena nyegatnya dekat kosan, harganya Rp. 15.000,- untuk rute dari kosan saya Jl. Blimbingsari – daerah Jombor. Saya memiliki “ritual” dua mingguan sekali bersama teman-teman untuk mendampingi usaha bersama dengan ibu-ibu di Dusun Trini. Ojek merk lokalan ini tidak ber-aplikasi akan tetapi sudah menggunakan kontak nomer hape untuk proses layanan.

Tentu saja, saya pun bersentuhan dengan moda transportasi yang kekinian, sesuatu yang tak terelakkan dan tidak dipungkiri. Pada awalnya saya masih menggunakan pembayaran cash untuk membayar ojek online ini, dan ya dengan rute saya yang itu-itu saja yakni kosan-Trini sebesar Rp. 12.000,-. Namun lama kelamaan, penggunaan pembayaran online juga begitu memudahkan, tinggal klik, beres, dan harganya jadi terpotong sehingga murah. Contohnya, sekitar 1 Km an saja saya hanya bayar Rp. 2.000,- (haha endel banget si gini aja naik ojek online). Lebih endel lagi, karena ada teman seperjuangan dari almamater prodi yang sama, beberapa waktu di Jogja juga sudah mencicipi naik online car-car an.

Berbicara moda transportasi di tempat rantau, saya pun juga tak luput dari yang namanya bus trans jogja bahkan yang namanya bis kopata (saya dulu ingat waktu ke jogja bersama keluarga, sebagai wisatawan, bukan sebagai mahasiswa, selalui naik bis-bis ini) beberapa kali juga merasakan. Trans jogja sebenernya juga nyaman, hanya dengan Rp. 3.500, coba naiklah jalur 3A, anda bisa dibuat muter-muter kota...hahaha. Atau yang armadanya warna biru, hmm....adem dan empuk kayak di kulkas!  Bis kopata juga harganya sekarang Rp 4.000,- dan mereka tinggal itungan saja yang lewat pas di depan kosan atau kampus.

Jadi, inti dari cerita yang saya coba hubung-hubungkan ini, menurut ilmu cocokologi, hahaha pada dasarnya kita, manusia, maupun secara masyarakat tengah mengalami proses dan perubahan sosial-budaya.. Teknologi, merupakan salah satu unsur budaya yang cepat berubah. Terlebih, manakala teknologi kini mengiringi lini-lini kehidupan kita. Apa keuntungan dan kehebatannya? Kalau dikaitkan dengan transportasi, kini sudah hadir transportasi berbasis online. Silahkan anda rasakan sendiri karena tentu akan ada jawaban beragam dan penilaian-penilaian pribadi sesuasi dengan konteks yang sedang dihadapi. Meskipun saya yakin, yang mengatakan transportasi berbasis online lebih efisien, mudah dan meyakinkan. Saya rasa, itu pilihan dan selera ya, yang dilatarbelakangi mungkin di ranah status dan kelas. Saya ingin menyederhanakannya saja dengan begitu. Pada dasarnya kalau mau didalami, manusia memuaskan keinginan ataukah kebutuhan. Pada saat-saat tertentu kita juga tidak melulu menggunakan yang online, dan di lain sisi tidak melulu menggunakan yang umum. Kalau yang transportasi umum di malam hari sudah tidak menjangkau, bisa jadi yang transportasi online bisa melengkapi. Jika di suatu tempat yang dituju memang tidak dilewati secara langsung oleh moda transportasi umum, kepraktisan sepertinya akan tertuju di ojek online. Pedesaan, apakah yang online-online ini sudah sampai kesitu? Ojek di tempat wisata tentu bisa menjadi alternatif, terutama yang backpaker, yang model travelingnya pakai kaki. Angkot? Kalau berkaca di Malang, saya kira ibu-ibu, bapak-bapak sepuh, dan anak-anak sekolah yang belum diijinkan naik kendaraan sendiri (walaupun setahu saya di sana juga ada bus sekolah) masih menghidupi. Pasar pun beragam, konsumen juga. Karena hidup apakah yang saat ini tidak tersentuk dengan 3G 4G? Orang mana yang hapenya tidak smartphone? Orang mana hari gini yang tidak main waslap? Tidak punya grup waslap jentrek jentrek dari SD sampe ibu-ibu RT, ibu-ibu kumpulan jemput anak sekolahan aja sekarang mainnya waslap! Apa yang tidak pesan online karena tidak punya smartphone? Ya bisa jadi.

Kembali ke persoalan moda transportasi online, sebetulnya yang sedang terjadi ini saya rasa transformasi saja. Bisa jadi, persoalan mental dan manajemen sumberdaya saja yang terlihat canggih di sisi ojek online. Atribut-atribut berseragam, canggih karena menggunakan online, rapi, jelas, meyakinkan dan menjamin. Para drivernya pun bukan tulen driver, melainkan siang hari mereka bisa berprofesi apa, siang malamnya baru narik, dan beragam cerita-cerita lainnya (yang mungkin kalau saya cermat mengingat dan segera menulisnya ulang bisa menjadi bahasan blog tersendiri, hihi).
Lalu, dititik pertemuan dan solusi manakah dapat terjadi saling menyesuaikan di antara pemain-pemain di kancah transportasi ini? agar tidak muncul kalimat “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?” siapa dibela dan siapa disingkirkan?

Kenapa kok terkesan tulisan ini tidak mengajukan solusi sama sekali ya? hahaha... karena, ini adalah opini subyektif berdasarkan refeleksi penulis terhadap fenomena yang dibaca Untuk menciptakan solusi tentu saja harus ada argumentasi kuat yang didukung dengan data-data. Lha wong ini hanya pengamatan sambil berlalu saja, dari everyday life. Data masih belum mencukupi sehingga jikalau ada solusi yang timbul di tulisan remah ini, seharusnya ada data yang membuktikan. Dan tentu itu membutuhkan indepth to grasp native point dari sisi keseluruhan baik penumpang (yang juga terdiferensisasi lagi), driver online offline, manajemen transportasi kedua belah pihak, dan stakeholder. Tapi setidaknya begini, di masa depan, harapan transportasi umum yang layak, aman dan nyaman bagi masyarakat tentu akan jadi dambaan, sehingga tingkat kemacetan dan resiko bisa diminimalisasi. Kendaran pribadi tidak saling mejeng dan berebut panggung jalanan. Nah, apakah mental untuk menggunakan barang secara fungsional dan bukan sebagai simbol material sudah siap?
Oleh karena, remahan ini layaknya bawang goreng yang membuat piring anda sedikit ramai, tapi tidak begitu menambah gizi anda..



Sleman, 
di suatu malam berbalut kerinduan.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar