Trah Keluarga Jawa






Keluarga inti merupakan satuan paling penting dalam organisasi sosial pada masyarakat Jawa (Geertz, 1961). Pada masyarakat Jawa, ikatan organisasi sosial tersebut dikenal sebagai Trah yang terbentuk berdasar pada satu garis keturunan leluhur. Organisasi trah telah ada sejak zaman kolonial pada tahun 1912 dan beberapa trah terbentuk setelah masa kemerdekaan.
Sebuah penelitian mengenai trah dilakukan oleh Sjafri Sairin untuk menelusuri asal usul organisasi sosial tersebut. Beliau menemukan empat golongan utama trah yang hidup di kalangan masyarakat Jawa yakni: ningrat, priyayi, santri dan wong cilik. Seluruh trah tersebut diklasifikasikan selain pada kesamaan leluhur, juga ditentukan oleh hubungan perkawinan. Pada tahun 1951, di kota Jogjakarta berdiri trah ningrat yang anggotanya merupakan keturunan raja Hamengkubuwono I. Adapun trah priyayi berasal dari orang-orang birokrat seperti Ikatan Keluarga Djojodiningrat. Didirikan pada tahun 1938, yang anggotanya merupakan keturunan dari bupati karanganyar, Jawa Tengah, Raden Mas Ario Adipati Djojodiningrat. Kalangan keluarga santri juga membentuk trah bernafas islami yang dikenal sebagai Bani. Di Jawa Timur misalnya, terdapat Bani kyai Abdul Djabar yang terbentuk pada 1972. Para wong cilik pun turut membentuk trah. Trah wong cilik ini sendiri berasal dari keturunan kalangan petani dan buruh. Trah Cokrodiryan yang berdiri pada 1968 adalah salah satu trah wong cilik, yakni berasal dari Cokrodiryo yang seorang mandor pabrik gula di kota Jogjakarta.   
Secara garis besar, keempat organisasi trah ini memiliki kesamaan tujuan yakni mempererat hubungan kekerabatan diantara keluarga, juga dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “ngumpulake balung pisah” yang berarti mengumpulkan sanak saudara dalam satu leluhur. Kegiatan perkumpulan trah ini pun diselenggarakan rata-rata pada saat arisan dan secara tahunan pada halal bihalal—lebaran.


Referensi: Trah  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar