Seminar Kebijakan Publik: UKT di Universitas Brawijaya



Tanggal  20 Oktober 2013, di Ruang 3.5 FIB diselenggarakan oleh DPM FIB UB dengan pengisi materi dari Ismuhadi dan Fami, mahasiswa FIA UB.  

Sesi I: Pengantar Teori Kebijakan
Menurut saya, kata-kata seperti  “kebijakan dan  publik” memang jarang terdengar dari lingkup rumpun ilmu kita, terlebih di dunia sastra, maupun kebudayaan (antropologi).  Namun, adanya seminar ini telah memberikan nafas dan suasana baru tentang realitas yang terjadi disekitar kita, utamanya di kampus kita tercinta tempat kita menimba ilmu. Maka, seminar kecil ini menggiring kita sedikit memaham dua kata  “kebijakan” dan “kebijaksanaan”, sebelum kita memahami mengenai permasalahan kebijakan dan realitas di Universitas Brawijaya.  
Kebijakanà seorang murid harus datang ke sekolah pada jam 7 pagi.
Kebijaksanaanà seorang murid, murid harus datang ke sekolah pada jam 7 pagi. Tetapi dia datang terlambat. Ia datang jam 8 pagi namun ia memiliki alasan mengapa ia terlambat. Ia harus membantu ibunya terlebih dahulu, dan ternyata ia masih diijinkan masuk sekolah.
Secara definisi sendiri, dikemukakan oleh Thomas R Dye, kebijkan publik sendiri adalah tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Sebagaimana kita tahu, para aktor-aktor yang memiliki peran dalam membuat kebijakan adalah pemerintah. Jika kita ibaratkan di dunia kampus, maka akan ada tiga aktor. Pertama ada society, dalam hal ini adalah mahasiswa,  government adalah orang-orang rektorat, dekanat, dll, dan private adalah swasta.
Di dalam kebijakan publik selalu berlangsung proses formulasi, implementasi, evaluasi, dan policy reform. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwasannya “tidak semua kebijakan publik memuaskan seluruh pihak”. There is always pro and contra.
tapi ada beberapa masyarakat yang tidak puas, kebijakan yang pemerintah ambil tidak memuaskan seluruh pihak, keniscayaan ada pro dan kontra”, tutur Ismuhadi, mahasiswa FIA sebagai pemateri seminar menjabarkan. Untuk itu, dalam melihat persoalan ini, kita memerlukan sebuah metode dalam menganalisis, dan melihat setiap kebijakan yang ada.
1.      Menetapkan masalah (gagal menentukan masalah, justru memecahkan masalah yang salah)
2.      Mengkaji cakupan
3.      Menyatakan dalam data dan fakta
4.      Eliminasi materi yang tidak relevan
5.      Fokus pada masalah kritis
6.      Melibatkan pejabat politik, pejabat birokrasi,kelompok kepentingan,masyarakat,lembaga penelitian, media massa.  
Kita coba bermain studi kasus sebagaimana yang dilontarkan oleh si pemateri. Ada kasus flu burung, maka yang harus diselamatkan terlebih dahulu apakah si manusia? apakah si burung?. Oke..tentusaja ya kepentingan keselamatan manusia. Jadi, ada sebuah prioritas dalam menentuka masalah. Cakupan masalah flu burung ini dapat mencakup dalam ring satu si manusia, ring 2 si ayam,peternak, pengusaha ayam.  
“Kebijakan publik dipengaruhi oleh media massa, jadi jangan seratus persen percaya dengan media”, lanjut Ismuhadi.
Sebuah kalimat preventif yang cukup baik. Pun demikian, hal ini tidak mungkin akan berlaku pada semua media. Jika kita percaya pada infotainment, dan berita gosip, himbauan diatas mungkin saja berlaku. Namun, saya rasa penonton Indonesia kini sudah cukup pandai untuk memilih mana media yang membodohi dan atau menginformasi.
1.      Karakter masalah. Masalah selalu interdependensi (berkaitan dengan masalah lain) bersifat komplek, atau bahkan adanya kebijakan baru semakin menambah masalah. Satu hal yang harus diingat adalah karena sesuatu yang baik untuk kita belum tentu baik untuk orang lain. Masalah itu dinamis, datang dan pergi, muncul dan hilang.
2.      Evaluasi. Masalah apa yang harus diprioritaskan.
3.      Mengkaji alternatif  yang sudah ada. Perlu adanya kesesuaian fakta dengan data. Sehingga dalam mengkaji alternatif ini memerlukan riset lapangan, mengetahui apa yang ada di kenyataan sehingga tidak hanya berakhir pada asumsi.

4.      Mencari alternatif  yang relevan. Dalam hal ini sebuah kebijakan selalu menimbulkan efek. Apakah dalam perjalanannya, kebijakan ini akan dilanjutkan, dimodifikasi, atau diberhentikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar