Renungan tentang Perjuangan

Suatu malam ketika online jejaring sosial Twitter, saya terkesan dengan sebuah tweet yang telah diretweet  dan muncul timeline saya. Kalimat kicauan tersebut segera saya favorite dan retweet. “Apa pun kampusmu, itu adalah kampusmu, tetap yang terbaik, orang-orang harus tahu, semuanya adalah romantisme, sisanya adalah perjuangan” @pidibaiq, 17 Agustus 2014. Dan benar saja, kalimat kicauan dari akun milik Pidi Baiq ini tampaknya menarik menjadi bahan renungan yang entah mengapa bisa sesuai dengan kondisi kampus kita, fakultas kita, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Ya, romantisme memang ada, namun tetap saja perjuangan juga ada.
Bulan Agustus lalu, program studi di bawah naungan Fakultas Ilmu Budaya dikabarkan terlalu berlebihan oleh beberapa media lokal di Kota Malang. Permasalahan yang terjadi di enam prodi  Fakultas Ilmu Budaya yakni Pendidikan dan Sastra Indonesia, Pendidikan dan Sastra Jepang, Pendidikan dan Sastra Inggris, Sastra Cina, Antropologi Sosial dan Seni Rupa belum memiliki izin dari Dikti. Namun berita-berita yang beredar memberikan headline yang sangat mengejutkan  seperti ‘prodi ditutup’ hingga ‘mahasiswa ilegal’. Berita-berita ini pun tak ayal meresahkan sebagian mahasiswa serta dosen yang bersangkutan. Berbagai anggapan miring, dugaan serta spekulasi yang belum pasti pun bermunculan. Ibarat pendirian Ruko dibangun diatas lahan yang belum memiliki izin mendirikan bangunan, lalu dapat sewaktu-waktu akan dibongkar. Lalu, apakah program-program studi, ibarat rumah tempat kita mencari ilmu dapat dikatakan sedemikian?.
Perlu untuk diketahui, sebagaimana telah disampaikan oleh pihak dosen dan DPM FIB, bahwasannya permasalahan ketiadaan  penerimaan mahasiswa baru bagi enam program studi pada tahun 2014 ini merupakan kebijakan moratorium yakni penghentian sementara. Tidak ada penutupan program studi dalam arti untuk selamanya, karena kita dapat mempercayakan bahwa peristiwa ini adalah bagian dari proses dan pengurusan.
Kebijakan Dikti pada enam program studi belum berizin tersebut di sisi lain bersambut dengan kebijakan UB yang pada tahun akademik 2014/2015 tengah membatasi jumlah mahasiswa baru. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, jumlah mahasiswa UB saat ini hanya mencapai 11.000. Alhasil, di lingkungan FIB jumlah mahasiswa baru angkatan 2014 berjumlah 370 anak yang tersebar di tiga prodi yakni Sastra Jepang, Sastra Inggris, dan Sastra Perancis. Memang selalu ada hikmah dibalik suatu masalah. Ibarat dalam sebuah hubungan dua orang manusia, yang dikenal istilah break, rehat, vakum, istirahat sejenak. Bisa jadi, saat ini FIB besert ke enam program studinya kini sedang berada di moment break.  Semoga dengan adanya moment moratorium serta kebijakan pengurangan mahasiswa baru ini dapat dimaknai sebagai moment break, ajang untuk melakukan introspeksi dan memperkuat potensi-potensi terbaik yang dimiliki, baik secara individual maupun komunal (bersama). Dalam hal ini, FIB, baik kalangan mahasiswa, dosen serta dekanat dapat terpacu semangatnya untuk memperbaiki kualitas diri dan menggalang prestasi sebagaimana tersebut dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Usia FIB  yang terbilang masih belia karena baru genap lima tahun menjadi proses perjuangan panjang dan ada banyak hal yang bisa dilakukan. Menghidupkan LKM-UKM,  menghasilkan karya,  mengadakan acara-acara yang menginspirasi, lomba, serta menjadikan kampus sebagai tempat untuk menggali potensi, dan memperdalam ilmu baik softskill dan hardskill, praktik dan teori. Jalinan kekerabatan seperti kekompakan dan kesatuan menjadi pilar utama perjuangan ini. Tetap optimis meski ditengah krisis, tak lupa seperti yel-yel yang selalu dinyanyikan kala PKKMABA di FIB yang berbunyi  “Kita satu ilmu budaya, cerdas tangguh dan berbudaya. Hey...We Are FIB, mimpi kami cita kami selamanya jadi kebanggaan Brawijaya.”

*ditulis untuk opini buletin Mimesis edisi September 2014

kita ganti liriknya!
Yaa, opini ini mungkin tak memiliki relevansi yang berarti lagi. Hanya jingle mastin good yang sedikit bisa menggambarkan kondisi ini.
Meski baru mendengar kabar dari linimasa, namun secercah kepastian telah direngkuh. #ceilaaah
Di September kemarin, saya belajar tahu seluk beluk dunia PNS dan secuil kehidupan anggota dewan. Berhubung segalanya masih baru dibentuk, masa transisi, jadi persoalan mendalam dan cara kerja para anggota dewan belum sepenuhnya tampak. apalah itu undang-undang dan palu sidang. kadang berasa haha hihi juga lihat anggota dpr yang lagi heboh di senayan. kalau magang disana, seribet apa ya bikin undangannya, bikin absennya, kiri ke ruang fraksi, ke ruang komisi, sama jaga absennya. sama ya, pasti lebih mikir lama buat mengingat-ingat nama anggota dewan segitu banyaknya. :p 

Oktober berlalu sudah. Dan kabar ini datang. 
Masa transisi, itu memang masa yang paling liminal ya, memang masa ambang yang tidak jelas, tidak pasti sama sekali. tapi rasanya sesuatu. kaya sekarang ini. saya berpikir, merasa, (mungkin bukan saya saja) yang menyadari kalau tahun angkatan saya itu selalu berada di masa-masa genting dan---penuh perjuangan---sepertinya ya. inget nggak jaman-jamannya unas smp, yang jadi empat mata pelajaran. seinget lagi, snmptn undangan pertama peluncuran pertama. terus sekarang jadi angkatan pertama. tahun 2015, adalah tahun kelulusan *AMIN*, tahunnya ekonomi asean, yang katanya saingan tenaga kerja bukan cuma negeri sendiri tapi juga dari negeri tetangga. serunya lagi, ada kabar kalau tahun depan, selama lima tahun ke depan  ada moratorium penerimaan PNS, kecuali nakes dan nadik. its mean that being civil servant its not dream job for indonesian people anymore?. ok. Saya yakin, setiap mahasiswa akan memiliki perjuangan berbeda di setiap masanya. Perjuangan baru dimulai, saudara-saudara!, dan akan terus berlanjut, di dalam kehidupan. 
diiringi alunan lagu merdu nan syahdu #np Kuasamu-BCL
Dan perjuangan itu dimulai dari sini: 


segeralah tayang meme ini



oh, sandaran skripsi, dimanakah kau berada?
Aku padamu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar