Bantengan, Pertunjukan Tradisional Unik dari Malang
Membicarakan Malang tidak hanya identik
dengan apel, tempe maupun sebagai salah satu kota tujuan pendidikan di
Indonesia. Kota terbesar kedua di Jawa Timur ini rupanya menyimpan kekayaan
budaya yang unik dan menarik, yakni kesenian Bantengan. Sebagai misal di
Kelurahan Madyopuro, terdapat kelompok kesenian Bantengan bernama “Banteng
Wareng”.
bantengan sedang menjalani ritual sebelum pergelaran (dok penulis) |
Bantengan adalah
kesenian pertunjukan yang memadukan gerakan tari, olah kanuragan,
serta atraksi dari hewan banteng yang diperankan oleh dua orang sebagai kepala
dan ekor. Dalam setiap pertunjukan Bantengan menampilkan sepasang banteng
jantan dan betina serta tokoh binatang lain seperti harimau dan kera. Salah
satu keunikan dan ketegangan saat menyaksikan pertunjukan Bantengan ini adalah
para pemain Bantengan mengalami peristiwa kesurupan (trance). Bantengan biasa ditampilkan dalam berbagai acara hiburan dari upacara daur
hidup masyarakat seperti acara khitanan dan pernikahan.
Selain itu, Bantengan
juga kerap tampil dalam acara karnaval sehingga berhasil menarik perhatian
masyarakat. Kelompok ”Banteng Wareng” yang didirikan pada
2009 ini sering mengadakan gebyak (pertunjukan) baik di luar
kelurahan maupun di lingkungan setempat. Para pemainnya rata-rata adalah
laki-laki baik berusia remaja maupun usia dewasa. Dalam kelompok ini, atribut
dan properti pergelaran seperti kepala dan badan Bantengan diproduksi sendiri.
Pembuatan kepala Bantengan tidak sama seperti pembuatan kerajinan lainnya
karena membutuhkan perlakuan khusus.
atraksi pecutan yang mendebarkan (dok.penulis) |
Pada pembuatan kepala
Bantengan misalnya, terdapat ritual yang harus dilakukan yakni ritual membakar
dupa. Bahan pembuatan atribut kepala Bantengan adalah kayu dadap cangkring,
pines, karpet, tali tampar. Sedangkan bahan utama pembuatan badan Bantengan
adalah rotan yang dibentuk rangka badan dengan lebar 70 cm dan panjang 2 meter.
Pada saat pergelaran, rangka tersebut akan ditutup kain berwarna hitam dengan
panjang sepuluh meter.
Seluruh perlengkapan bantengan yang ada
disimpan dan dirawat dengan baik oleh sang pawang Bantengan. Perawatan ini
khususnya kepala Banteng yang diberi sesajen yang rutin
dilaksanakan setiap hari Jumat legi.
Sesajen juga dipersiapkan tidak saja ketika menyimpan kepala Bantengan, namun
juga saat pergelaran yang bertujuan sebagai keselamatan bagi seluruh anggota
kelompok. Selain itu, dalam kesenian ini juga terdapat pantangan yang tidak
boleh dilanggar oleh anggota kelompok bahkan sebelum pergelaran dimulai.
Pantangan tersebut terdiri dari tidak boleh mengonsumsi minuman keras dan
kacang, bahkan bagi pemain laki-laki tidak diperkenankan memiliki rasa suka
kepada perempuan. Sebelum pertunjukan Bantengan diadakan terlebih dahulu ritual di sebuah pohon beringin yang dipercaya tempat bernaungnya leluhur masyarakat setempat. Nantinya, leluhur inilah yang juga turut berpartisipasi pada saat pertunjukan Bantengan.
Pergelaran Bantengan di
Madyopuro diawali dengan iringan musik gamelan dan orkes, kemudian kesenian
Bantengan muncul berjoged dan bergerak bebasnya. Di kelompok ini, Bantengan
tidak tampil sendiri, namun ia tampil bergantian dengan kesenian tradisional
lainnya seperti kesenian jaranan. Di akhir seluruh rangkaian pertunjukan,
atraksi yang paling menarik, unik, dan paling dinanti meski terasa ngeri adalah
atraksi kalapan (kesurupan). Atraksi ini meliputi atraksi para
pemain yang dipecut tubuhnya namun tidak terluka, hingga menggigit
properti-properti kepala Bantengan pun tidak mengalami cedera.
Pertunjukan Bantengan seperti di Madyopuro
menjadi hiburan yang memiliki tempat dihati masyarakat meski di tengah serbuan
ragam hiburan. Nafas kehidupan kesenian tradisional tentu akan tetap hidup
apabila dukungan dan partisipasi masyarakat yang masih ingin menjaganya.
Komentar