Sastra Harus Bicara



Apakah kalian pernah mendengar kredo (pernyataan keyakinan): “ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara?” Pernyataan ini disampaikan oleh Seno Gumira Ajidarma. Tentu namanya sudah tidak asing di blantika sastra Indonesia. Saya pribadi, pertama membaca karya, SGA,  berupa cerita pendek berjudul “Pelajaran Mengarang” di buku kumpulan cerpen Kompas dan cerita pendek berjudul “dodolitdodolitdodolibret” di sebuah website. Keduanya merupakan cerpen yang mengesankan. Berbicara mengenai cerpen mengesankan, ada satu karya Leo Tolstoy yang pernah saya baca (diceritakan ulang) berjudul “Tuhan Tahu Tapi Ia Menunggu” oleh ahli sosial di salah satu kanal media, di bulan Ramadhan yang lalu entah tahun berapa. Benar-benar cerpen religius, silakan coba membacanya, karena cukup bertebaran di dunia maya.

Selain cerpen, pengalaman sebagai penikmat “sastra” saya rasakan juga terdapat pada jenis lain seperti puisi dan novel. Puisi, misalnya, saya terus terang jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan puisi, tepatnya sudah dimusikalisasi berjudul “Dalam Doaku”. Saya mendengar musikalisasi tersebut ketika diputar oleh teman saya di youtube. Adalah puisi ciptaan Sapardi Djoko Damono. Ya, siapa pula yang tak mengenalnya. Puisi yang begitu mendalam dan indah. Terlebih diiringi musik, entah kenapa, mendengarkannya seperti seolah mengobati kerinduan jiwa. Saya lantas membaca puisi karya Sapardi lainnya di dunia maya. Puisi Sapardi banyak bertutur tentang alam. Hujan Bulan Juni pun, entah kapan saya mulai mengenalnya. Saya membaca versi novel tersebut yang mengisahkan Pinkan dan Sarwono. Dikisahkan Sarwono, dia anak jurusan antropologi. Ketika diangkat ke layar lebar, saya pun tak melewatkannya.

Selama masa-masa menempuh perkuliahan yang dipenuhi bacaan-bacaan bahasa asing (kita harus review tiada habisnya). Pada saat itu, ada kebutuhan membaca-bacaan yang bisa melengkapi kehasuan saya akan pengetahuan sosial-budaya, namun dengan bahasa dan gaya bercerita. Dan benar saja, itu semua bisa diperoleh melalui membaca novel sastra.Sebelum mengenal sastra, saya pun juga melalui proses pengenalan pada bacaan-bacaan yang disebut dalam tulisan Nurgiyantoro “sastra populer”. Setelah saya telusuri, sastra populer yang dimaksud (karena kita juga tahu ada budaya populer/budaya massa yang kemudian diahadapkan pada budaya luhur). Sastra populer pun familiar dalam kehidupan saya. Semasa remaja, membaca novel-novel teenlit (teen literature), metropop, juga pernah saya rasakan. Sebutlah satu judul itu berjudul “Cintapuccino” (baca ulasannya disini) yang juga diangkat ke layar lebar.

Barangkali saya tidak boleh melewatkan pernah membaca karya klasik sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer, yakni tetralogi Bumi Manusia. Entah apakah semua mahasiswa (jaman dahulu) sudah membacanya, sehingga mendorong saya untuk membaca pula. Saya baru membaca di judul ketiga, setelah Anak Semua Bangsa, Jejak langkah. Bumi Manusia secara ringkas menunjukkan bagaimana tokoh utama, Minke (telah diangkat kelayar lebar dengan pemerannya Iqbal CJR, entah kenapa saya merasa kurang pas atas pemeran ini) mengkritik kebudayaan Jawa dan mulai mengenali bangsanya. Tokoh yang sangat menarik untuk diperhatikan dan sentral di buku tersebut adalah Nyai Ontosoroh. Figur wanita yang berpendirian.

Selain terkesima dengan Pram, karya Romo Mangun atau Y.B Mangunwijaya juga menarik perhatian. Saya justru belum membaca burung-burung Manyar, salah satu karya klasik beliau. Tetapi saya membaca karyanya berjudul burung-burung rantau. Menarik, si tokoh utamanya, bernama Neti, merupakan seorang lulusan antropologi. Diceritakan di novel tersebut, ia sedang menjadi seorang relawan guru di kawasan kampung kumuh. Ia sedang mengarungi pergulatan batin dengan keluarga dan kariernya. Buku tersebut tampak ditujukan pada sosiawan –sosiawati (pekerja jurusan kesejahteraan sosial). Ulasannya bisa dilihat disini.

Beberapa contoh di atas,banyak membagikan pengalaman membaca sastra saya, pada penulis-penulis laki-laki. Tentu saja, saya pun telah berderet nama penulis perempuan Indonesia yang karyanya sudah tidak diragukan dan begitu mengesankan. Sebut saja nama-nama seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, Okky Madasari, Mira W, Leila S. Chudori, serta Ratna Indraswari Ibrahim (penulis dari Malang) yang bukunya pernah saya baca. Saya akan bercerita sebagian saja.Barangkali pula, nama Ayu Utami dan Dewi Lestari begitu berkesan bagi saya, karena, keduanya pernah saya saksikan secara langsung. Dewi Lestari pernah mengadakan seminar di kampus dan suatu hari pula saya mengikuti seminar penulisan Ayu Utami di Perpustakaan Kota. Waktu seminar bersama Ayu Utami, peserta diharuskan menuliskan esai pendek. Waktu itu saya mengirim tulisan tugas antropologi agama, topiknya Pesarean Gunung Kawi pada bulan Suro. Tahu apa komentar Ayu Utami pada tulisan saya? “tidak menarik di awal, seperti wikipedia”. Saya speechless tapi juga senyum sendiri. Tidak peduli apa kritiknya saat itu (tetapi di akhir ia memang membeberkan saran) saya beruntung juga bisa berfoto sekalighus mendapatkan tanda-tangan dari penulis favorit saya!

Saya membaca karya Ayu Utami semasa kuliah, pada usia yang saya kira mulai belajar memahami seksualitas. Tulisan Ayu Utami cukup bersentuhan dengan isu ini, pada dua karyanya. Saman (klik disini ulasannya) dan Larung. Cerita utama kedua buku ini seputar periode reformasi dan aktivis 98.Karya Dewi Lestari Supernova, pun memiliki sensasi berbeda. Karyanya hanya sekenanya ingin saya baca. Saya membaca seri ke-1 supernova dan judul partikel. Karya dewi lestari menurut saya memberikan saya sensasi membaca fiksi ilmiah karena tidak sedikit taburan diksi-diksi saintis.Tetapi jika kamu sudah pernah merasa membaca kedua penulis perempuan ini, maka tema keduanya hampir sama membahas mengenai spiritualitas. Saya pernah mengulasnya meski tak secara gamblang. Disini ulasannya. 

Karya Leila S. Chudori juga tidak sengaja saya baca. Waktu itu saya masih di awal kuliah pasca dan fakultas sedang mengundang ia menyampaikan proses kreatif. Saya membeli buku Leila yang sedang dibedah kalai itu, Laut Bercerita. Sensasi merasakan bagaimana kira-kira rasanya punya anak, saudara, teman yang “dihilangkan” di masa orba. Melalui bagaimana kerasnya mahasiswa (aktifis) demokrasi waktu itu. Kisahnya mengalir, dan tentu saja dengan merinding,  merasakan bayangan betapa kejamnya siksaan-siksaan itu pada mereka.Ketiga nama yang saya sebutkan ini menjadi penulis perempuan yang saya gemari. Saya ketahui kemudian, mereka tidak hanya menuangkan imajinasi dan fiksi. Mereka dengan sangat baik melakukan riset untuk melahirkan karya. Bagaimana mengembangkan karakter, latar belakang yang tertera di karya mereka sehingga kita para pembaca merasakan kenyataan. Ternyata mereka juga tekun mengumpulkan data dan informasi. Kerja mereka seolah seperti peneliti atau penyusun etnografi?

Penulis perempuan luar Indonesia setidaknya yang pernah saya baca adalah karya Nawal el-Saadawi, Perempuan di Titik Nol. Sastra dari negeri Arab. Nawaaw sendiri merupakan seorang dokter Inspirasi karyanya merupakan kisah nyata dari perjalanan melakukan penelitian tentang neurosis di sebuah penjara wanita di Mesir. Di penjara tersebut, ia justru menemukan seorang tahanan wanita, bernama Firdaus,  adalah seorang pelacur yang sedang menanti detik-detik hukuman gantung atas kasus pembunuhan kepada seorang laki-laki germo, namun ia menolak mengajukan grasi kepada Negara.  Dalam pertemuan  di penjara itu, Firdaus menceritakan segala lika-liku kehidupan menjadi seorang pelacur sukses—ia menyebutnya, kepada Nawaaw, sekaligus mengungkapkan segala realitas yang hadir dalam masyarakat manapun tentang  arti seks,cinta, kekuasaan, wanita dan laki-laki. Ulasan lengkapnya bisa dilihat disini.  

Menurut SGA lagi, ada tiga mitos sastra yang harus dihancurkan. Apa maksudnya? Pertama, “sastra adalah curhat.” Curhat atau curahan hati disini diartikan bahwa ada sentimen dari diri seorang penulis. Sastra mestinya berisi pemikiran, tanggapan, ataupun kritik akan suatu hal yang dibungkus dengan fiksi.Kedua, “bahasa sastra mendayu-dayu.” Tidak semua karya sastra menggunakan bahasa yang mendayu-dayu, sebagaimana kita mengenal karya Khalil Gibran, misalnya. Ada banyak penulis yang menggunakan bahasa sehari-hari, tulisannya enak dibaca, dan pesan tersampaikan kepada pembaca. Ketiga, “sastra adalah pedoman hidup.” Karya sastra bukan seperti kitab yang menjadi pedoman hidup. Ada banyak hal yang bisa dipetik dari karya sastra. Sastra itu membongkar, mempersoalkan, menguggat, mempertanyakan, dan membebaskan. Klaim kebenaran yang dianggap benar dan sudah berlaku selama bertahun-tahun dari nenek moyang hingga saat ini, misalnya. Hal demikian bisa jadi dipertanyakan oleh karya sastra, menguji kelas-kelas kebenaran, atau memverifikasi ulang kebenaran itu. Sastra itu merdeka. 

Karya-karya di atas, sebagian yang saya sebutkan berupaya menghadirkan, mempersoalkan, mempertanyakan kebenaran. Seperti karya Leila Chudori, Ayu Utami, jelas mengangkat ingatan bangsa, mengenai tragedi 98, tentang sejarah. Tidak mudah untuk menyingkap dan menceritakan pada dunia melalui laporan reportase atau jurnalistik. Dengan demikian, sastra hadir sebagai "perlawanan". Seperti menurut Melani Budianta, novel Laut Bercerita ini menghadirkan narasi alternatif dari wacana dominan penulisan sejarah. 

Lantas, apakah dibedakan fiksi dan non fiksi, kemudian kerja sastra / jurnalistik dalam upaya mengantar wacana-wacana yang ada , bagaimana pula dengan etnografi?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar