Belajar, dan terus Belajar !: a reflection from fieldwork at Lamongan


Gapura dusun Kebontengah, desa Rejotengah
Di tahun 2013 ini, kegiatan praktek penelitian lapangan bagi para mahasiswa semester IV, angkatan 2011 Antropologi, Universitas Brawijaya kembali dilaksanakan. Jika di tahun lalu kegiatan praktek masih dilakukan di seputar wilayah kabupaten Malang, tepatnya di daaerah Gondanglegi, maka tahun ini levelnya meningkat ke luar kota, yakni di kabupaten Lamongan. Sensasi berbeda turut mewarnai praktek penelitian kali ini, mengapa? Karena secara konsep kami tidak hanya sekedar datang dan mencari data saja, dalam praktek lapangan tahun ini kami melakukan beberapa acara semacam kegiatan bagi masyarakat, sekaligus yang cukup berkesan mungkin adalah dapat terlibat dalam kegiatan mengajar di sekolah dasar. Kegiatan besar kami di desa Rejotengah ada dua, yaitu kegiatan lomba memasak dalam mengolah bahan komoditas desa (hasil tambak) dan kegiatan yang lebih berbau edukasi, yakni lomba cerdas dermat bagi siswa sekolah dasar dari perwakilan tiap dusun. Dalam hal dan pengalaman apapun, kita tidak pernah melupakan sisi negatif dan sisi positif, sisi plus dan sisi minus, dua hal oposisi ini selalu bernaung dimana pun berada. Seperti kegiatan praktek penelitian lapangan di Lamongan ini, sedikit banyak merasakan sisi-sisi tersebut.
Sawah dan Tambak nice ecosystem?
Di sisi positif, praktek kali ini menjadi berwarna, dengan kita menyertakan diri, ikut terlibat dalam suatu frame pengalaman kehidupan, kita terkadang suatu waktu harus benar-benar “merasakan”. Bagaimana  merasakan berpeluh keringat menjadi petani dalam beberapa menit, rasanya menjadi seorang guru walaupun hanya sehari, merasakan naik perahu yang sungguh mengasyikkan karena hal seperti ini jarang saya lakukan di rumah saya, di kota Malang. Ternyata masih ada orang yang senang mandi di kali entah kebetulan atau kebutuhan saja. Betapa sungai,  sawah, dan tambak berharmonisasi menghidupi nafas keluarga. Seperti biasa dinamika yang muncul di desa adalah terkait kebutuhan untuk hidup (ekonomi), alam (dalam matapencaharian), hingga membawa pada kekayaan, pendidikan, dan pada gilirannya dapat membawa pada jabatan, kekuasaan, politis (masih dalam suasana hangatnya kepemimpinan desa yang baru berjalan 6 bulan). dan lebih banyak melihat serta mendengar cerita-cerita, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman tentang orang tua kepada anak-anaknya. Bagaimana di desa Kebontengah cukup banyak menemukan orang yang sudah sepuh, orang tua yang tentusaja anak-anak mereka telah berada jauh disana, menerima kehidupan di luar desa. Ada hal yang saya rasakan, saya pikir-pikir dan renungkan setelah dari ini, saya tidak tahu apakah ini “kesadaran saya yang baru tersadar”, atau suatu kebetulan yang dirasakan, namun saya merasa hampir setiap bertemu dengan orang baru, berkenalan terutama dengan orang tua yang sepuh, maka obrolan yang paling dekat adalah tentang keluarga, tentang anak. Berapa anaknya, berada dimana sekarang, terkadang apa pendidikannya, bagaimana perjuangannya. Setelah itu, bisa jadi berapa anak dari anaknya (cucu), dsb. Jadi, intinya keluarga itu penting sekali, dan kita akan selalu membicarakan hal ini sampai kapanpun dan bisa kepada siapapun. Berbagi cerita tentang keluarga kita itu mungkin bisa jadi adalah sebuah rasa kebanggaan atau kerinduan tersendiri, atau suatu gambaran pengalaman yang bisa dibagikan kepada orang lain, utamanya mungkin bagaikan perbincangan “petuah orang tua pada anaknya”.
SD Rejotengah I, serasa Indonesia Mengajar?:p
Di sisi negatifnya, semakin dewasa kita, semakin penelitian jauh ke depan dan topik skripsi pun seakan harus sudah ada di depan mata dan di dalam genggaman, harus belajar manajemen waktu, planning dan membuat fokus yang benar,  tapi malangnya ini belum dilakukan maksimal. Selalu saja, setelah terjun dalam lapangan, selalu merasa limpah data atau melarat data, dan ada hambatan-hambatan personal (malas, tidak semangat, tergoda ingin bersantai) dsb. 
At the point, in the second fieldwork at Lamongan city, its the way you can get some data, informant, its not easy as you think, as you feel and as you read on theory . "Peka", its hard to be like this. Bertanya terkadang jadi  sulit dan belajar  mendengarkan bisa jadi lebih susah, bahkan jika kita harus sabar mendengarkan cerita yang memang berada diluar tanya yang kita inginkan. Jadi, dalam penelitian, dalam wawancara selalu ada kendala dan kesulitan. Kita harus sabar, harus belajar mendengarkan, dan yang paling penting sepertinya adalah belajar “berempati”.
ada masterchef di Rejotengah
  Hal yang paling sederhana yang diceritakan seseorang kepada orang lain adalah cerita mengenai keluarga. Jika ada orang tua, maka cerita yang akan dibagikan, adalah cerita tentang anaknya, jika ada seorang mbah, kakek nenek, maka cerita yang dibagikan adalah mengenai cucunya. Jadi, cerita mengenai keluarga,adalah cerita sehari-hari yang sangat wajar, lumrah kita temukan dimana saja, dan akan selalu kita temui. Tak dipungkiri bahwasannya anak adalah aset, sekaligus memang cerminan orang tua, jadi ketika si anak berhasil, maka betapa bangganya orang tua, dan betapa berartinya perjuangan orang tua dalam usaha dan doanya. Dan ketika kita tidak ingin bertanya tentang isu sensitif, atau berita yang tengah panas, maka sangat mungkin dengan sendirinya orang akan mengatakannya. Bahkan, sesuatu yang bersifat pribadi, entah diketahui banyak orang atau tidak, bisa jadi kita diberi informasi. Saya, kamu, kita, mereka dan siapapun akan selalu belajar, dan tak ada kata salah, terlambat atau sia-sia dalam belajar, termasuk dalam praktek penelitian ini....   


Thankyou for reading this diary, listening sound’s of heart, and thinking inside of little mind
Terimakasih telah membaca tulisan curhatan, mendengar suara isi hati, dan berpikir dalam otak ini :>
7 Juni 2013, :) semangat!always..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar