Ekspedisi Sehari Gunung Kawi
Night Trip to Kawi's
Pesarean
Gunung Kawi, berada di Kecamatan Wonosari. Terletak di daerah yang dikelilingi
kontur jalan penuh tikungan, tanjakan, dan turunan. Selama perjalanan menuju
wilayah gunung Kawi, melewati desa Kebobang. Memasuki wilayah pesarean,
terdapat sebuah gapura besar, “Selamat datang di wisata religi Gunung Kawi”.
Betapa daerah ini memang telah dikenal dan dijadikan sebagai obyek wisata, dan
berbasis religi. Sebagaimana halnya daerah petilasan, pesarean, sebagai obyek
wisata, di bagian depan terdapat lahan parkiran. Parkir ditarik biaya sebesar
Rp. 3000;00.
Pusat
kegiatan ritual dan pesarean berada di bagian atas (bukit). Untuk mencapai ke
lokasi tersebut, jalanan pun mulai menanjak. Di sepanjang jalanan menanjak
tersebut, terdapat berbagai kegiatan perdagangan dan jasa yang sangat ramai. Di kanan kiri
jalan dapat ditemukan kios-kios dan lapak yang tergelar menjajakan barang
dagangan. Ada yang berjualan aksesoris untuk buah tangan, rumah makan, jasa
cetak foto, permainan hingga kebutuhan untuk penginapan. Bahkan, ada pula yang
berjualan pohon Dewandaru, dan poho “bambu rejeki”, mereka dijual seharga Rp 5.000;00 hingga Rp 10.000;00. Pohon Dewandaru
adalah pohon yang diselimuti mitos akan keberuntungan oleh masyarakat. itulah
mengapa masyarakat datang ke gunung ini, dan menanti jatuhnya daun pohon yang
memiliki buah berwarna merah ini.
Beberapa
toko sangat menampilkan kekhasan dari budaya Tionghoa. Membicarakan hal ini,
perlu ditelusuri melalui tinjauan sejarah, mengapa budaya Tionghoa, baik
kepercayaan maupun segala macam pernak-perniknya turut menghiasi pesarean di
gunung Kawi ini. Tidak dapat dipungkiri, maka mayoritas pengunjung pun selain
datang dari kalangan orang Jawa, merupakan orang-orang Tionghoa. Sehingga ada
sebuah tempat di kawasan ini, layaknya klenteng, dan didepan pintu masuknya
terdapat tulisan “Ciamsi”. Disini, meski tampak seperti bangunan klenteng,
terdapa jajaran lilin dan aroma dupa yang menyerbak, namun tidak ada aktivitas
ritual seperti menyalakan hio, atau memeganginya sambil berdoa di depan patung.
Keramaian pada malam itu tampak pada masyarakat, baik etnis Tionghoa, maupun
Jawa, sedang asyik memegang sebuah stik bertuliskan nomor, yang nantinya dapat
ditukar dengan kertas berwarna merah muda. Dalam kertas tersebut terdapat
beberapa baris kalimat yang cukup sulit dimengerti. Cara mengetahui kalimat
tersebut, dapat dibaca dalam sebuah buku panduan tersendiri. Di malam itu,
sekitar jam setengah 10, kesibukan terlihat dari para pengunjung, yang sibuk
menukarkan stik, menerima kertasnya, kemudian sibuk mencari artinya.
Pesarean
Eyang Joego dan Imam Soejono
Semakin
mendekat ke arah pesarean, ditemukan para penjual bunga di kios maupun
berkeliling. Bunga mawar melati yang sudah di bungkus dengan daun pisang ini
dijual seharga Rp 2.000;00 dan jika membeli dua bungkus beserta sebungkus dupa,
maka harga dijual Rp 5.000;00. Di sinilah pusat dari keramaian masyarakat yang
datang dari berbagai daerah, untuk data ke makam dari dua sesepuh di wilayah
Kawi ini, yakni Eyang Joego dan RM Imam Soejono. Latarbelakang para pengunjung
di lokasi wisata religi ini pun beragam. Dari orang tua, yakni bapak-ibu,
keluarga, beserta anaknya, dan berbagai rombongan seperti anak muda. Masyarakat
Tionghoa, Jawa, dsb.
Kembang Mawar |
Memasuki
areal pesarean, pun mulai dirasakan suasana religi. Berbagai larangan pun
disampaika melalui sebuah papan pengumuman seperti tidak boleh melakukan
kegiatan merekam, mengambil gambar, hingga mengenakan pakaian yang berukuran
pendek. Makam mbah Joego dan Imam Soejono berada pada sebuah bangunan yang mirip
pendopo. Di sekeliling bangunan terdapat beberapa pohon Dewandaru, yakni pohon
yang dipercaya memiliki keberuntungan saat salah satu daunnya jatuh dan menimpa
pada seseorang didekatnya. Mitos, maupun kepercayaan ini masih melekat di benak
masyarakat hingga saat ini. Sehingga pada saat itu, tampak kerumunan dan
jajaran pengunjung menggelar tikar, dan duduk sambil mendekat ke pohon yang
sudah diberi pengaman. Suasananya begitu ramai, tidak laki-perempuan, tua-muda
semua berkumpul. Namun, keramaian itu tidak
kalah dengan “kesunyian”, berbalut ke sakralan di areal bangunan makam.
Didalamnya terdapat jam berukuran besar sejumlah lebih dari 10 buah. Bangunan
ini cukup mewah, karena ornamen dan hiasannya dominan berwarna coklat, dan di
bagian depan tepat berada makam dari Eyang Joego dan Imam Soejono.
Beberapa
oranamen bernafas islami pun tampak, bahkan
ada pula sebuah piagam penghargaan yang bertuliskan “Anugerah Wisata
Jawa Timur 2006”. Disini, hawa religi mulai terasa. Berbagai macam orang dari
berbagai usia, jenis kelamin, dan tentunya dengan berbagai harapan, dan
keinginan datang untuk “ziarah” ke makam ini. Prosesi dilakukan dengan para
pengunjung ini membawa bunga yang sudah dibungkus tadi, kemudian tampak
beberapa orang meletakkan uang sejumlah Rp 5.000;00 dan Rp 10.00;00 di dalam
bunga tersebut. Secara teratur, meski agak berdesakan juga, para pengunjung
mulai duduk, kemudian berjongkok, berjalan jongkok lagi maju kedepan, mendekat
ke arah makam. Di depan sudah ada dua orang laki-laki tua, dengan baju khas
Jawa lengkap, yakni beskap, jarik plus surjannya. Mereka “melayani” para
pengunjung ini. Jadi, pengunjung memberikan bunga yang sudah dibawa untuk
diberikan kepada bapak-bapak ini kemudian kita akan memperoleh bunga yang
dibungkus kertas berwarna coklat, dan menyannya yang khusus, karena
bungkusan-bungkusan ini telah diberi asap, yang menguap ditengah wadah berisi
bunga. Entah, asap ini berbahan dasar apa, dan muncul darimana. Namun, yang
unik adalah ketika para pengunjung memberikan beberapa benda miliknya untuk
“diasapi”. Seperti yang terjadi pada waktu itu, saya melihat seorang ibu muda,
berkerudung, usia sekitar 30an memberikan dompet hitamnya kepada si bapak dan
kemudian diasapi. Ada pula orang yang memberikan sebotol air dan kemudian juga
diasapi. Entahlah, apakah asap ini bertuah?.
Setelah
kembali memperoleh bunga dengan bungkus kertas, kita dapat kembali dan
mengkhiri prosesi. Beberapa kegiatan di malam itu, di dalam ruangan tersebut
sayup-sayup terdengar orang sedang membaca doa, duduk diam, ada yang membawa
tumpeng, sesajen lain seperti ayam, buah-buahan dsb.
This
the first time, I see how people, do some ritual on one place with they own
religion..and of course with so many backgorund culture,and area...
A
young, old, men women,people...different place..,
Suasana Pasar di Gunung Kawi |
Terlepas doa apa yang
mereka panjatkan, harapan apa yang mereka inginkan, untuk mencapai tujuan,
melihat ini cukup membuat saya harus memahami jika agama dan kepercayaan di
masa kini masih begitu beragam dan diluar keenam agama. Bahwa di sebuah tempat
peziarahan, pesarean seerti ini sesuatu yang sakral dan profan, itu seperti
apa?. Dalam hati dan otak ini hanya untuk berpikir dan merasa apa yang
diinginkan orang-orang ini?, terlebih ketika mereka “mengasapi” barang-barang mereka.
Mungkin saya belum mendapatkan jawaban dari sisi emik mereka yang menjalani.
Ini terkait teori si Pritchard? Yang berkaitan dengan pemaknaan dan suatu
fenomenologis. Cukup pikir saya, masih ada toleransi diantara mereka, karena
mereka yang datang dari berbagai agama,ras, suku namun berziarah pada leluhur
yang seorang Jawa.
Ruang
Dewi Kwan Im
Tidak
jauh dari makam, lagi-lagi terdapat tempat semacam bangunan yang mirip dengan
bangunan kelenteng. Hanya saja, disini ruang ini bernama “Kwan Im”. Suasanana
masih dikelilingi lilin-lilin batang bewarna merah besar, yang bisa menyala
hingga bertahun-tahun. Tampak patung dewi Kwan Im, beserta hio yang terbakar,
dan sesajen lain didepannya.
Suasana
masyarakat sekitar
Waktu
beranjak naik, begitu pula masyarakat yang hendak menuju ke makam, menyusuri
jalanan tanjakan untuk menuju pusat kegiatan, sebuah tujuan pusat harapan yang
mereka inginkan. Bahkan tampak para muda-mudi yang lebih banyak berhilir mudik.
Jam 12 lebih suasana masih menunjukan keramaian, baik yang akan menjalani
ritual, maupun menikmati sajian-sajian di pinggiran jalan. Bapak Sumardiono, umur 75 tahun, asal
Gondanglegi, desa Banjarejo, adalah salah satu penjaga toilet umum di sisi
jalan menuju ke pesarean. Disini (Gunung Kawi) adalah rumah dari adik pak
Sumardiono, yang juga membuka warung. Ia memiliki 2 anak. Disini ramai kegiatan
di hari senin pahing, malem jumat legi, dan suran, cerita bapak berkopiah hitam
ini. Sepanjang hari ia menjaga jasa toilet umum yang terdiri dari 4 ruang toilet,
di hari biasa jam 8 biasanya sudah tutup.
Pengalaman
Suran
Kegiatan
menjelang suran yang terjadi dala satu malam menjadi pengalaman pertama bagi
saya, dan mungkin teman-teman saya pula. Pasalnya, sebagai orang Malang,
mungkin saya sudah jauh ketinggalan oleh orang luar Malang yang lebih sering
datang. Kisah dan keunikan gunung Kawi yang dikenal sebagai tempat perolehan
pesugihan, identik dengan ritual-ritual beserta mitos daun pohon dewandaru bahkan
telah saya dengar ketika saya masih duduk di bangku SMA. Pada masa itu, ada
seorang teman yang sekelas selama 3 tahun, berasal dari Wagir, dan sering
bercerita tentang tempat ini...dan ternyata ketika di bangku kuliah, saya baru
mendatanginya, melihatnya secara nyata..
Pengalaman perjalanan
malam J
How we can feel togetherness between friends
and lecturer in one night trip go to Kawi’s mountain, the religion mistic
place.
Komentar
pengen tahu pohon "dewandaru" & bambu rejeki aku mba?, kok gk ada fotonya? tak beli aku ben sugih.hahha