Sedikit Video, Banyak Curcolnya


Kondisi Indonesia dan dunia sedang tidak baik-baik saja. Sejak kemunculan virus Covid-19 sekitar bulan Maret di Indonesia (ketika negara-negara lain sudah mendahului) hingga saat ini korban terpapar positif mencapai angka 200.000an ribu jiwa. Ini mengkhawatirukan jika dilihat dari lingkungan sekitar saya sendiri di Malang, orang-orang serasa tidak begitu saklek mengenakan masker atau sekedar memisah jarak yang lebar saat berkumpul. Baiklah, saya tidak sedang membahas Covid-19 dan dinamika masyarakat kita.  

Satu hal yang paling terasa meski sebenarnya hal ini tidak terjadi lantaran virus, namun karena peradaban serta teknologi yang mengiringi. Adalah metode pembelajaran daring (dalam jaringan). Sudah lama saya ingin menulis ini, membahas, mencurahkan isi hati atau sekadar juga mengkritik segala berkaitan yang barangkali juga menyentuh sistem pendidikan, infrastruktur atau sumber daya manusia. 

Pengalaman di hari ini, misalnya, bulan September. Bulan ini terhitung tujuh purnama setelah kampus tempat saya bernaung menetapkan kebijakan untuk melakukan pembelajaran dari rumah. Waktu itu proses belajar mengajar memasuki UTS. Sejak UTS hingga UAS semester Genap semua dilaksanakan daring. Tentu, sebagai seorang newbie, pendatang baru (yang nggak baru-baru amat si kalau dihitung jaman kuliah 2011), rookie, dlsb. Tentu ada penyesuaian, kekagetan, kebingungan sebut saja begitu untuk melaksanakan kelas yang biasanya tatap muka, menjadi sangat persis lagunya Saykoji: "siang malam kuselalu menatap layar terpaku untuk online online online". 

Waktu itu, belum mendengar apa itu sinkron, asinkron, daring, luring, learning management, google classroom, zoom, gmeet dlsb. Lalu hembusan kata Blended learning adalah kunci.  

Baiklah, sebenarnya, sebelum corona menyerang, sistem pembelajaran, metode (semoga benar) apa yang ingin saya maksudkan, memadukan tatap muka dan pemanfaatan teknologi media belajar disebut Blended learning. Jadi...kalau misalnya pengajar/guru tidak masuk, sebenarnya masih bisa digantikan si komputer, video. Atau juga kalau disekolah-sekolah sejauh yang saya ketahui menggunakan semacam modul atau soal-soal yang diakses siswa dengan komputer/gawai.  

Tetapi, itu semacam hal --asing--jarang atau tidak sepenuhnya dipahami atau di"budayakan" oleh pengajar/dosen (prodi tertentu). Dan terlebih saya. Selama ini menggunakan media belajar konvensional, power paragfraf, buku-buku ebook, surat kabar daring, film, hingga video dari kulakan di Youtube. Belum juga terasah untuk sekedar membuat video (pembelajaran) sendiri. Jangankan video, untuk membuat modulpun (jelas-jelas teks dan mengetik) itu terasa beraaaaat. 

Seperti pada hari ini, saya mencoba membuat video, belum berisi materi, namun lebih pada berbagi ulasan buku favorit saya. Untuk menunjang momen ini saya pun dengan pedenya membeli kaki tiga (entah saya pikir ini barang investasi yang bisa jadi berguna untuk adik-adik saya di rumah). 

Berbekal kamera gawai saya bermerk OP*O seri A berapa saya lupa (jadul) serta laptop saya bermerk ASU* untuk memproduksi ulasan saya itu. Karena memerlukan gladi dan berusaha meminimalisir kesalahan ucap dll. kira-kira saya mengambil (take video) sebanyak dua kali sehingga diperoleh selama video dengan durasi 12-13menit. Saya biarkan semalam videonya (apaaan deh, kayak adonan donat aja) untuk kemudian esok harinya saya menyisihkan waktu untuk mengedit. Ya, upaya yang paling melelahkan dan menguras energi. Oke, jadi bayangkan. Video yang saya punya durasi 12-13 menit. Saya mengedit dengan menambahkan "hiasan" dan mengcut bagian yang useless. Saya dapatkan fix sekitar 12 menit. Lalu saya harus render video (jadi kalau sudah diedit, disave difinalisasi) itu kurang lebih meakan waktu 1-2 jam (astaga padahal videonya nggak sampai setengah jam). 

Jadilah saya berhasil mengedit video ulasan buku favorit. Karena mengedit membutuhka aplikasi, saya menggunakan Camtasia (demi apapun dengar setelah dapat pelatihan dari fakultas). Oke, saya coba. Setelah saya gunakan ini, saya selesai edit, ternyata videonya menampilkan watermark sebesar ukuran yang menutupi wajah saya. Yaa gimana, masih belum cerdik memilih mana aplikasi yang benar-benar free  dan full dengan  hanya free trial. Wajah glowing masa enggak kelihatan...sayang banget kan. Tapi tunggu, apakah wajah glowing itu..sudah didukung dengan speaker-audio yang bagus sehingga pengucapan menjadi jelas? atau kamera yang canggih, bening kualitasnya? Banyak sekali "infrastruktur" yang diperlukan, atau dirasa ideal, seolah-olah seperti sedang membuat film. 

Sekarang saya membayangkan, jika saya seorang mahasiswa di era pandemi ini. Saya kemudian, misalnya, akan mengunduh atau menyaksikan video yang sudah dibuat oleh Kak Hani (yang sedikit video banyak curcolnya) itu tadi. Anggaplah, saya rumahnya terletak di pedesaan ndlesep yang jarang sinyal. Lalu saya kesulitan menonton, muter-muter terus jaringannya. Alhasil kuota saya habis, Sisanya meringis karena informasi-pengetahuan pun lewat. Tunggu...kuota saya habis bukan karena menonton video itu saja. Ada tiga kemungkinan kuota akan mudah terkuras (iya nggak?) karena aktivitas ini: 

- menonton video youtube, mengunduh

- mendengar suara

- video call (zoom, gmeet)

Nah, kalau begini, apa yang paling saya pilih jika saya (sebagai mahasiswa tadi). Apalagi misalnya, saya merupakan mahasiswa/siswa yang telah mendapat bantuan kuota dari Mas Menteri ? kemudian misalnya Kak Hani itu tadi, hanya membagikan bacaan-bacaan teks (ebook, pdf) dll. Kira-kira apakah menguras banyak kuota? Tapi kalau begitu, tidakkah membosankan bagi mahasiswa dan mereka memerlukan pengayaan dari sekedar (teks) bacaan? Sedangkan Kak Hani tadi sudah mendengarkan seminar daring metode pembelajaran yang berbunyi kira-kira begini: berilah opsi-opsi metode/sumber pembelajaran yang bervariasi (teks, video, dlsb). 

Disini, saya menyadari, ternyata, saya telah menyiakan waktu masa muda (?), atau terlalu santuy manajemen waktu menjelang September datang. Ah, tapi ujungnya saya jelas membela diri. Saya sibuk dengan hal-hal lain. Tidak sempat mengasah diri untuk misalnya, belajar memproduksi video hingga mengedit video atau desain semacamnya. Apalagi sebenarnya saya memiliki keuntungan. Saya masih muda. Masih, Saya belum membayangkan usia-usia dosen/guru senior harus mengedit-edit video dengan sabar dan telaten. Mereka lebih baik mencari editor atau bantuan dari yang masih muda atau menggunakan opsi yang lebih bisa dijangkau. 

Jadi jika saya atau kalian menyaksikan video juga film (apapun di luaran sana) yang bagus, dahsyat, tentu itu hasil kerja keras dari konten kreatornya dan editor. Mereka puas, karya mereka tersampaikan dengan baik. 

Lalu bagaimana jika, video bagus itu tidak bisa dinikmati "konsumen" atau klien lantaran kendala teknis kuota, akses jaringan internet. 

Bagaimana jika video kualitas buruk (terbatas alat), tetapi harus (terpaksa) disampaikan pula pada konsumen?

Oke, jadi ini tergantung manusianya atau teknologinya?

Semoga ini secercah semangat yang mendorong untuk, coba lagi, semangat.  Tetap meningkatkan imun dan iman di masa sekarang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar