Nanti Kita Cerita Tentang Sore Ini

belajar dan bermain 

 

 

Mbak, putus-putus.

Maaf mbak suaranya putus-putus.

Suara nafasnya gresek-gresek mbak.

12!@#D@#$!%!*!@$

………………….

 

Begitulah kira-kira, suara dan pesan singkat yang lalu lalang dari para generasi Z di kolom obrolan Zoom dalam sebuah pertemuan kelas virtual sore yang mendung ini. Input suara saya terdengar tipis-tipis.

Saya agak termenung. Sekian pertemuan sebelumnya tidak pernah mengalami kendala alat-alat ini, baik gawai maupun laptop. Visual dan materi yang disiapkan serasa menguap mubazir begitu saja.  Alhasil, informasi yang mereka peroleh pun demikian. Setengah-setengah dan putus-putus. Padahal, dibalik layar yang terpisah jarak ini, saya terkadang menahan kering kerongkongan dan nafas berat perut keroncongan.  Tapi, itu sudah biasa. Entah apa rasa yang membuat saya bertahan.

Hari-hari ini, kita menjadi sangat tergantung dengan teknologi. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari memegang ponsel, menatap layar atau panasnya telinga tertutup headset. Apakah ketergantungan ini tidak memberi jeda, atau memberi rasa bahwa kita ini manusia. Manusia adalah mahkluk pe-rasa. Rasa, empati, emosi dan ekspresi apakah bisa ditangkap teknologi-teknologi itu? Teknologi semakin menjauhkan kita? Atau mendekatkan kita? Mempermudah atau justru mempersulit? Apakah teknologi bisa terbatas? Sedangkan kehendak manusia tak berbatas? Bagaimana jika tidak ada gawai, tidak ada laptop, tidak ada jaringan internet? Tidak ada infrastruktur!

Saya harus bersyukur bagaimanapun juga. Meskipun tidak berbekal jatah kuota dari bantuan sosial pemerintah, saya tinggal di perkotaan dan memiliki akses wi-fi di rumah. Di rumah saja. Tidak perlu menuju kampus atau tempat-tempat akses internet di ruang publik.

Saya harus mengembangkan empati. Bahwa, masih ada di luaran sana, guru-guru, pendidik yang luar biasa bahkan sebelum kondisi pandemi ini. Mereka rela turun naik gunung, menyeberang lautan badai datang ke sekolah untuk mengajar.  Saat ini, ketika murid-siswa tetap harus mengenyam pendidikan lantaran terbatas infrastrukturnya, para guru yang berdedikasi itu datang ke rumah.

Apakah kenyamanan dan kemudahan membuat orang lupa, terlena, hingga lupa bersyukur?

Bagaimana dengan mahasiswa dan dosen? Pendidik, guru, dosen sejatinya adalah fasilitator. Mereka mendampingi, memfasilitasi, mempertemukan minat dan bakat dengan kondisi-kondisi dan pengetahuan. Mereka bukan sumber utama. Begitulah kira-kira menurut teori.

Dibanding siswa, mahasiswa yang kini berusia milenial atau Z tentunya dianggap sudah dewasa (awal). Meskipun banyak juga yang mendiskreditkan generasi ini. Konon katanya, mereka tak mengenal dunia tanpa gawai. Mereka dianggap passionate, cepat bosan, dan gemar mencari tantangan baru. 

Demikian, perkuliahan tidak serta merta memindah apa-apa yang ada, dan mahasiswa tidak bisa berbuat apa-apa. Hal yang perlu dihighlight adalah: mahasiswa belajar mandiri dengan mengakses apapun dan bersumber dari ujung mana saja. Mau menonton Youtube, mendengar Podcast, webinar tiga kali sehari, atau kuliah daring lintas negara. Itu memungkinkan di zaman sekarang. Hanya saja, semua juga diikat dengan “kuasa kuota”. Semakin bisa mengakses internet berlimpah, maka semakin meriah pilihannya.

Sebelum pandemi, sebenarnya sudah ada metode pembelajaran yang memadukan sistem daring dan luring. Namanya adalah blended learning. Jika dilakukan keduanya, itu menjadi ideal. Siswa-mahasiswa tidak harus setiap hari datang ke kelas yang terbatas tempat dan waktu. Melalui sistem belajar daring, siswa-mahasiswa bebas mengakses berbagai materi berbentuk teks, audio, video dsb. Namun demikian, belajar daring maupun luring tentu memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Kelemahannya, di sisi daring adalah sering sekali terjadi salah paham, salah pengertian lantaran komunikasi “diperantarai”. Tentunya berbeda dengan tatap muka di kelas dimana kita, fasilitator dan pembelajar bisa saling mendengar suara, menatap mata dan menaruh rasa…..

Malam hari di Malang yang tidak dingin,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar