Sebuah Keresahan Berawal Dari Tak sengaja Membaca Putusan

dewi Themis, lambang keadilan

Suatu ketika dalam selancar di mesin pencarian, saya tergoda membuka direktori putusan mahkamah agung. Kali pertama saya membuka laman tersebut. Kemudian saya menjadi ingat dengan adegan pemeran tokoh di drama korea yang sedang saya tonton, bercerita tentang mahasiswa fakultas hukum. Dalam beberapa adegan terlihat mereka membuka kasus-kasus hukum melalui laman website. Barangkali seperti yang sedang saya lakukan.

Kembali ke laman direktori putusan, saya membuka-buka secara acak tab-tab yang ada. Di sebelah kiri ada kata kunci nama pengadilan per wilayah, direktori tindakan pidana, perdata dan sekian kata kunci lainnya.

Dengan acak, saya mencoba membuka tab “pidana”. Muncul sekian daftar nama putusan pengadilan berhalaman-halaman. Halaman terakhir yang muncul tampaknya menunjukkan kebaruan kasus. Ternyata, setelah saya mencoba meng-klik salah satu putusan, masing-masing terdapat dokumen berformat pdf & zip yang bisa dibaca. Tetapi, ada juga putusan yang memang tidak dipublish (sehingga tidak bisa diakses dokumennya) karena alasan privasi dan itu diatur dalam ketentuan.

Alhasil saya dengan acak mengklik tab pidana, perdata dan pengadilan militer. Dari hasil penjelajahan di antara yang saya baca dari awal hingga akhir, akan saya coba tuliskan di bawah ini.  Pengalaman membaca dokumen putusan ini menjadi pengalaman baru bagi saya. Saya yang merupakan lulusan ilmu sosial, awam mengenai hukum dan peradilan. Selama ini dokumen (berkenaan hukum?) yang sering dibaca barangkali hanya sebatas peraturan daerah dan undang-undang.  

Saya ingin menuliskan pengalaman membaca putusan ini, lantaran kasus-kasus yang saya tidak sengaja baca, begitu memprihatinkan, meresahkan dan mungkin juga geram. Kasus-kasus ini tidak dilihat kasus-persoalan biasa, tetapi ini jelas melanggar hukum dan hak asasi. Dan kasus-kasus itu yang justru seolah-olah terus ada mengalir deras di masyarakat.

Pertama, “penipuan” atas perkawinan. Terdakwa seorang perempuan, menikah dengan seorang laki-laki, si A. Padahal, si terdakwa, masih istri sah dari suaminya sebutlah si B. Menariknya, si terdakwa berkenalan dengan si A melalui aplikasi dating online. Berkenalan beberapa bulan menjalin hubungan (hingga ke kamar dan melakukan seks) hingga kemudian melangsungkan pernikahan. Secara siri tentunya. Lalu bagaimana caranya? Terdakwa belum ijin pada suami yakni B dan bahkan tidak mengetahuinya namun pernikahan bisa terjad? Terdakwa memanipulasi administrasi dengan mengaku janda (dibuktikan surat akta cerai/keterangan janda dari suami sebelumnya). Tiga tahun putusan yang dijatuhkan. Semua rangkaian peristiwa perselingkuhan, pertemuan, penggerebekan, ke kamar hotel berapa kali, barang bukti semua terdeskripsi di dokumen. Di akhir dokumen kemudian disebutkan putusan berapa tahun hukuman pada terdakwa.

Kedua, pemerkosaan anak di bawah umur. Terdakwa seorang prajurit di sebuah satuan. Seorang laki-laki kelahiran 1998, berarti usia 20 an.  Terdakwa mengajak seorang gadis kalau tidak salah berusia 17 tahun ke sebuah penginapan. Lagi-lagi, mereka bisa berjumpa dan mengenal dari aplikasi dating online. Terdakwa memaksa melakukan hubungan seksual terhadap si gadis. Si gadis sempat menolak namun “kalah” juga. Hal yang membuat saya (antara geli dan geram sekali) saat membaca rangkain kronologi pemerkosaan ini adalah: si terdakwa mengatakan pada si gadis kalau terjadi apa-apa (kehamilan) atas perbuatan di kamar ini, ia akan bertanggungjawab lantaran ia adalah anggota satuan. Sebuah bujuk rayu yang sangat gombal.  Sempat-sempatnya menyebut instansinya untuk menipu anak dibawah umur? Dampaknya jelas si gadis mengalami trauma. Respon dari keluarganya yang mengusut hingga memproses si terdakwa di pengadilan. Putusan berapa tahunnya saya lupa, tetapi jelas ada kalimat terdakwa akan dipecat dari satuan.

Ketiga…saya hanya mengklik acak di halaman muka putusan tanpa melanjutkan membaca dokumennya. Saya menemukan kasus seperti narkotika, pencurian, penganiayaan, dst.

Setelah berkunjung di direktori putusan, saya menghela nafas. Saya mengatur perasaan dan otak saya. Saya tak habis pikir atau tidak sampai pikir. Ada dua kesamaan kasus-kasus di atas. Kasus privat, kasus menyangkut seksual. Kasus yang satu berdasar suka sama suka namun dengan cara curang karena masih dalam ikatan perkawinan. Yang satu lagi, berdasar suka sama suka namun bujuk rayu dan menipu belum dalam ikatan perkawinan.

Cinta, suka, sayang. Apakah iya semata dibuktikan dan dirasakan semudah dengan diakhiri hubungan seksual? Kedua, perkenalan melalui media aplikasi kencan online. Dalam respon dan pengamatan singkat saya ini, MEDIA SOSIAL, INTERNET, ADALAH AWAL MULA DAN TEMPATNYA BENCANA.  

Perkenalan dengan orang random acak, dst bisa menjadi awal mula terjadi sebuah hubungan. Masalahnya, hubungan ini merugikan pihak lain atau tidak, terlarang, dilarang atau bagaimana...

Media sosial, internet itu kan, katanya, seperti pisau bermata dua. Kalua digunakan dengan benar akan berguna, sebaliknya akan merugikan. Banyak orang menikah dan menjalin hubungan serius dan “sewajarnya” oleh karena bantuan media sosial-internet.

Tetapi, kasus perselingkuhan, kejahatan seksual juga marak terjadi melalui online-online an ini.

Salah satunya? Kasus hangat di Bekasi yang melibatkan putra anggota dewan setempat. Si anak dewan ini, berusia 21 tahun, melakukan pemerkosaan dan penjualan gadis usia 15. Dan lagi-lagi, dilakukan melalui aplikasi jejaring sosial online. Dan yang membuat geram lagi, ada upaya untuk menikahkan korban dan pelaku kekerasan seksual supaya hukuman terkurangi? Heloo…yang mau dinikahi juga di bawah umur. Tujuan yang dicapai dalam hukum adalah menegakkan keadilan, kok jadi keuntungan bagi pihak tertentu?  Nah…bukan rahasia lagi kalau hukum ada pernyataan seperti “hukum tajam ke bawah tumpul ke atas”, hanya kaum yang berduit bisa melakukan kesewenangan dalam hukum, seperti suap manipulasi dll. Hal ini kemudian benar-benar menguji bagaimana orang-orang di matra hukum ini membuat putusan, melakukan proses secara adil dan benar.

Lets see, kita ke individu pelaku. Mereka yang menggauli anak di bawah usia, merupakan remaja laki-laki usia 20an, yang apakah nafsu seksualnya sedang menggelora? Barangkali iya, namun bagaimana mungkin… pemuasannya jatuh ke gadis-gadis muda usia anak-anak, atau bisa dikatakan baru memasuki awal remaja. Asumsinya, ada yang mengatakan, bahwa menggaet anak-anak mudah untuk diiming-iming, dibujuk rayu, digombali, dst. Apa benar demikian?

Saya…mengingat-ingat apa yang saya ketahui ketika di rentang usia 15 hingga 17.  Memegang ponsel mungkin sudah, meski ponselnya hanya bisa berkirim sms saja. Seingat saya. Pacar, kekasih,? No… hanya menjadi pengagum rahasia atau terhanyut dalam bayangan cinta monyet. Pengetahuan seksual? Edukasi tentang kalua berhubungan seksual bisa hamil. Awal hubungan seksual itu berawal dari ciuman, pegangan tangan dst. Mungkin itu minim sekali. Pelajaran biologi hanya membahas anatomi. Pelajaran BK, konseling remaja? Dll semacamnya? Saya lupa namun saya rasa tidak begitu banyak seperti jaman sekarang yang kita bisa tahu ada yang namanya catcalling, kalau berhubungan seksual “memaksa” baik itu yang diikat dalam lembaga perkawinan maupun tidak, bisa berujung pada masalah hukum pidana. Jaman sekarang sangat mudah untuk banyak tahu hal. Tetapi banyak tahu saja apakah cukup berguna untuk melangkah dan memutuskan ke arah yang baik dan benar?   

Melihat kenyataan ini, membuat saya merasa ngeri, merasa resah, apa begitu menakutkan di luaran sana dunia ini bagi anak dan perempuan? Apakah benar mereka selalu menjadi korban? Apa laki-laki selalu salah? Mana yang lebih dulu dipertanyakan dimana letak kesalahan sehingga ada perilaku menyimpang demikian? Pola asuh pendidikan orang tua? Pendidikan formal? Kemiskinan? Miskin moral, agama? Entah, keresahan saya ini meronta ingin dituliskan, serta direnungkan. Untuk kontribusi solusi, apa yang bisa saya beri? Dalam posisi saya seorang perempuan? Atau seorang pengajar ilmu sosial bernama ilmu antropologi yang resah dengan arah tadi? 


Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar