Cerita dari Negeri Salak: a short story from five days field research
Apakabar dunia blogging?, postingan pertama di tahun 2014 ini akan saya buka dengan kisah dari negeri salak, kopi dan cengkeh, dari Ampelgading...
Lima hari yang cukup memotivasi, dan menginspirasi ?
Lima hari yang memberi refreshing?;p....
Lima hari yang cukup memotivasi, dan menginspirasi ?
Lima hari yang memberi refreshing?;p....
Jika
suatu masyarakat dalam suatu kebudayaan memiliki sebuah ritual atau tradisi
yang harus dilakukan,dilaksanakan, dan apabila diabaikan akan menjadi suatu
ketidakharmonisan, maka inilah penggambaran yang selalu dihadapi bagi mahasiswa
antropologi. Di setiap akhir semester, para mahasiswa antropologi (mungkin di
seluruh dunia, dan karena warisan dari antropolog terdahulu), akan selalu
melaksanakan “ritual” turun ke lapangan: mengunjungi sebuah desa selama
beberapa hari dan kemudian melakukan penelitian. Meskipun, di jurusan lain,
ritual ini kebanyakan dilaksanakan pada semester akhir saja dan sekali saja
sebelum lulus, dengan mengadakan kegiatan khusus yang menarik perhatian mayoritas
masyarakat di desa tersebut—KKN (Kuliah Kerja Nyata)—(karena di semua desa yang
kami datangi mengira kami sedang melakukan kegiatan ini). Imajinasi lainnya
yang paling mendekati adalah kami seperti sedang melaksanakan salah satu
program acara televisi (yang sayangngya saat ini sudah tidak tayang lagi),
yaitu “Jika Aku menjadi.” :p
keluarga Pak Umbar, selama di Purwoharjo |
Di edisi penelitian antropologi semester ganjil kali ini, ada suasana berbeda. Kami para mahasiswa yang menjelang semester penghabisan ini tidak lagi “hidup bersama” ketika menjalani penelitian. Jika di penelitian sebelumnya, dalam satu desa kami tinggal dalam satu rumah dengan jumlah anak dari 30 , kemudian ber 6, dan kini semakin intim dengan hanya berpasangan. Kami hanya berdua, selama lima hari, menghabiskan 4 malam, dalam sebuah keluarga, di satu RT di desa. Saya bersama Hikmah tinggal di keluarga bapak Umbar dan ibu Ngatiyah di RT 10.
Bapak
dan ibu Umbar ini memiliki tiga orang anak, namun hanya dua yang masih tinggal
bersama. Si anak pertama, Yudha seorang lelaki telah berkeluarga di desa
sebelah (Lebakharjo). Seorang anak gadis yang masih remaja, kelas 2 SMA di
Lumajang, bernama Liya dan anak terakhir yakni Bagus yang masih kelas lima SD
Purwoharjo, dan barusaja dikhitan.
honey the explorer! hahaha |
view perbukitan pedesaan yang saya bilang seperti di Terbithia :p |
Purwoharjo ini hanya memiliki sebuah dusun yang bernama Pucungsari dengan sepuluh RT. Sebuah desa di bukit, yang tetangga Rtnya berada di balik bukit, dengan jalan berliku, kadang tanpa pencahayaan. Kondisi di bukit, pegunungan, dan tentusaja sinyal sangat jarang didapat, terutama karena operator yang saya gunakan adalah in***at.
negeri per-salak-an dan per-kopi-an |
Sedanglam
di fasilitas pendidikan terdapat 1 gedung TK Dharma Wanita dan Sekolah Dasar
Negeri Purwoharjo. Pendidikan tingkat
lanjut seperti sekolah menengah terdapat luar desa. Sarana Kesehatan meliputi 1 Poskesdes, Posyandu
berjumlah 3 buah dengan satu tenaga medis. Belum ada PAUD disini, padahal jumlah
anak-anak preschool lumayan banyak
dalam satu desa saja. Mengapa demikian, pertama kai saya datang, saya bertemu
dengan salah satu pemudi desa setempat yang menjadi pengajar les bagi anak-anak
usia belum sekolah formal, yang dilakukan di rumahnya, dan bapaknya juga
merupakan seorang ketua RT. Mbak Siti namanya, meskipun bukan lulusan
perguruan, namun ia sudah mengajari di madrasah dan melakukan kegiatan mengajar
adik-adik di sore hari.
Dari
cerita mbak Siti dan pengalamannya, yang dilakukannya memang bahwa pendidikan dan
upaya membuka pandangan untuk “percaya pada kekuatan pendidikan” itulah yang menurut saya seperti "berjalan di jalan terjal dan berliku terselip diantara perbukitan", adalah masalah yang dihadapi di masyarakat pedesaan". Namun
saat ini kesadaran untuk pergi ke sekolah, dan mengenyam pendidikan hingga
mencoba kelur dari desa...sudah perlahan dilakukan...
suasana RAT koperasi wanita di balai desa |
Begitu
juga dengan kegiatan organisasi sosial di Desa Purwoharjo terdapat organisasi
sosial masyarakat dan perkumpulan yakni LPMD, PKK, Koperasi Wanita dan Muslimat
NU. Organisasi yang tampak seluk beluknya adalah kopwan “Langgeng”, karena saya
dan hikmah, shinta pada suatu kali mendapatkan informasi langsung dari ketuanya
yakni ibu Wati, seorang ibu, dengan karakter wanita pedesaan yang cukup aktif
dan energik dalam bersosial (jika di kalangan anak mahasiswa biasa disebut
sebagai organisatoris/aktivis).
Lima hari (mungkin) tidak
cukup untuk penelitian. Akan tetapi pengalaman, “feel” hidup di keluarga baru yang belum kita kenal sebelumnya, dengan
meminta ijin untuk tinggal hanya beberapa jam sebelumnya, yang sebenarnya akan
sangat membuat rasa berbeda. Jika Indonesia mengajar punya jargon “setahun
mengabdi, seumur hidup menginspirasi”, maka ijinkan saya untuk mencoba merevisinya
dengan versi saya sendiri: “antropologi penelitan: lima hari di sebuah
keluarga, selamanya tentu takkan lupa” J ..... Tanpa mencoba untuk berlebay atau
mendramatisir suasana, tapi kalian, wahai anak muda Indonesia, haruslah menikmati
dan menjalani dan merasakan kegiatan semacam kegiatan lapang bermasyarakat,
atau pengabdian seperti (dalam KKN misalnya jika kalian berkuliah dan tidak
sedang di jurusan yang punya ritual rutin seperti fieldtrip)...dan untuk mahasiswa antropologi, nikmatilah dan keep positively... Tidak mengherankan jika
sekarang ada banyak sekali kegiatan “turun lapangan”, “blusukan”, dan baik dilakukan oleh organisasi, institusi
maupun acara tayangan televisi reality show sekalipun....I belive, the way you seeing, seeing the phenomena, condition, situation,
and reality will be different, even it’s not deep, and so wisely...you will get
the point the meaning of life caused by experience... ^^
Komentar