Pembacaan "Saman", Karya Ayu Utami


Judul                    : Saman
Penerbit/Tahun     : Kepustakaan Populer Gramedia, 2013.
Penulis                 : Ayu Utami
Buku pertama dari Dwilogi (Saman-Larung)

Membaca novel sastra ini seperti kita mempelajari studi tubuh, relasi rumit pria-wanita, dan tentang buronan “religius” yang terlibat dalam masyarakat.

Cetakan 2013,
gambar nya aja udah gimana?
Seperti inilah kiranya pendapat dari pembacaan saya terhadap novel sastra yang memenangkan sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998, yang pada masa itu masih suasana lepas dari Orde Baru. Berkisah tentang persahabatan empat perempuan sejak remaja yakni Shakuntala, Cok, Yasmin dan Laiala yang memiliki karakter berbeda. Namun, dalam novel ini dikisahkan cerita utama menyorot pada sosok mahasiswa yang pernah datang ke sekolah mereka kala SMP, yang bernama A. Wisanggeni, yang karena suatu hal maka ia harus mengganti namanya menjadi “Saman”. Rupanya Yasmin dan Laila adalah dua sahabat yang menyimpan rasa kagum dan menjadi pengisi utama kisah dalam novel.
Lalu, apakah itu Saman?, ia merupakan nama seorang pria “aktivis” yang kemudian menjadi buron pada masa rezim militer Orde Baru. Kisah perjalanan hidupnya dari dan ketika menjadi aktivis di sebuah dusun bernama Lubukrantau, amat menarik untuk disimak, terutama ketika ia pernah tiga kali sempat kehilangan adik (walaupun adik yang terakhir hidup hanya selama tiga hari) dikarenakan kandungan dalam rahim ibunya menghilang. Cerita-cerita tentang perkebunan karet di dusun tersebut, beserta permasalahan sosial yang melingkupi. Sampai akhirnya ia meminta bantuan Yasmin yang anak LBH (Lembaga Bantuan Hukum). Diceritakan pula ia  terpaksa harus melarikan diri keluar negeri, karena kondisi yang tidak menentu dan sampai pada akhirnya si Laila mengejar, dan mengingat kembali pria dari masa lalu tersebut.
Cerita-cerita disini berlatar belakang Indonesia seperti Prabumulih hingga suasana New York, Amerika. Cerita diatas adalah bagian utama dari kisah dalam novel. Bagian-bagian lain yang menarik adalah ketika setiap karakter memiliki sikap, sifat, dan penilaian yang sama  mengenai nilai-nilai dan sudut pandang antara relasi pria-wanita dalam suat hubungan, dalam suatu kehidupan seksual. Saya tidak perlu membuka pandangan apa sajakah itu, karena sudah tentu pandangan-pandangan ini agaknya masih dianggap vulgar, erotis dan tabu. Seperti, keperawanan misalnya, atau eksplorasi “morfologi tubuh dan seksualitas” dan atau istilah-istilah yang barusaja saya kenal seperti aloerotisme. Banyak penilaian yang ditujukan buku ini sebagai novel dengan aliran feminis, pendobrak tabu, menjadi salah satu aliran sastra baru di Indonesia pada masa tahun 2000an lalu, pun bahkan ditulis oleh para perempuan Indonesia.
Adapun aliran atau genre novel Saman ini dikenal sebagai “sastra wangi” adalah kebebasannya dalam mendiskusikan seksualitas dengan segala aspeknya (Sastra Wangi, Khristianto).
Tentu saja, genre seperti ini selalu tabu dan selalu diperdebatkan oleh masyarakat, bahkan dari kalangan kritikus sastra sendiri. Dari beberapa penulusuran (googlingisasi artikel internet :p) awal kemunculan sastra aliran ini dipelopori oleh Ayu Utami (yang ternyata baru saya tahun adalah salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen) dengan karya Saman, dan label sastra wangi tersebut datang dari sebutan media massa.   
Pada  Saman ini memang keterbukaan-keterbukaan akan hal-hal tentang tubuh dan seksualitas dimunculkan, namun itu akan kembali kepada penilaian kita apakah menganggap “tabu dan erotis ataukah sebagai bentuk dari pengetahuan”, ini pilihan dan intrepretasi.  Hanya saja, saya tertarik dengan istilah-istilah, kalimat-kalimat keterbukaan, kritik pedas, dan jujur (mungkin) dalam mengungkapkan relasi-relasi “dalam” antara pria –wanita. 
Misalnya, ada satu bagian yang saya gemari dari pendapat Shakuntala (pengandaian yang lucu sekali, tapi memang benar adanya! hahaha). Ketika ada pernyataan dalam novel ini tentang pengandaian perempuan adalah porselin cina. Patung, piring, cangkir. Mereka tak boleh retak, karena orang akan membuangnnya ke tempat sampah. Sedangkan laki-laki?, mereka adalahg gading: tak ada yang tak retak.  (hal 127).
Hal lain yang menarik adalah “Pengandaian si Penari” yang menurut saya sangat “woman dance art performance” sekali...
“Sejak lama kutemukan hidupku adalah menari. Bukan di panggung melainkan di sebuah ruang dalam diriku sendiri. Aku menari sebab aku sedang merayakan tubuhku...... Maka di pentas ramai itu pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan penonton tayub yang menuntut. Ronggeng. Gandrung. Si penari tak lagi merayakan tubuhnya. Tubuh itu bukan miliknya lagi.....”  (hal 129)
Tampaknya, memang seorang penulis itu memang selalu memiliki “gaya penulisan” dan karakter kuat dari pemikiran yang ia tuangkan dalam karyanya. Sosok Shakuntala ini lebih-lebih saya andaikan sebagai pemikiran dari si penulis sendiri. Jika sudah membaca karya Ayu Utami, yang lain seperti Si Parasit Lajang, (seperti kumpulan esai), malah semakin terlihat pemikiran, dan keterbukaan akan feminisme dan sudut pandangnya akan posisi pria-wanita dalam konteks yang lebih banyak pada budaya patriarki. Rasanya-rasanya membaca esai itu malah seperti mengkritisi dan harus merevisi konsep-konsep yang selama ini ada di teori-teori orsos (keluarga, perkawinan, keturunan). Kreativitas dan karya, memang suatu hal mengandung selera, pilihan dan kebebasannya.
Jika semakin penasaran, dengan karya yang demikian, silahkan saja dan tafsirkan sendiri...dan saya kurang membaca satu bagian yang Larung, dengan semua penasarannya....
Ketika meresensi/mereview, sudah tentu, dan sudah pasti kita akan menilai suatu karya. Namun penilaian itu bersifat relatif (berdasar pemahaman dan penafsiran diri) namun juga tidak menjudge. Dalam hal ini saya tidak mengatakan karya ini baik/buruk, bagus/jelek atau lebih ekstrimnya adalah setelah membaca novel macam begini saya kemudian sekaligus menjadi setuju dengan aliran “feminisme garis keras” ini. Malah, fenomena yang menarik adalah, mengapa teman saya (yang laki-laki) ada yang berinisiatif duluan untuk membaca buku model macam begini. Justru apakah dia memang pecinta sastra, atau sekedar ingin tahu/belajar?. Lebih baik, kita samakan persepsi, bahwa membaca novel seperti ini  (dan karena saya perlahan saat ini suka sastra) adalah membaca sebagai pengetahuan. Jadi, dimana letak tabunya?. Bukankah yang tabu itu kalau kita, terus membicarakan hal ini di waktu/tempat yang tidak tepat (tentusaja bagian yang dianggap terlalu vulgar). Atau, menjadi “pelaku prakteknya” (yah, jelas ini sangat ekstrim sekali), bukankah saat ini sedang marak kasus pelecehan seksual (seperti pedofil pada anak-anak) yang sejatinya itu terjadi salah satunya karena kita belum mengenal betul konsep-konsep genital dalam tubuh kita yang sangat berharga dan sangat harus dijaga.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar