Media Rasa Sastra

Tulisanmu dikritik sama dosenmu?, itu biasa. Tulisanmu diedit sana-sini sama teman persmamu?, itu juga udah biasa banget. Pernahkah terbayang jika tulisanmu secara langsung dibedah dihadapan dua puluh anak peserta workshop dengan pemateri setenar Ayu Utami?. Ya, ini baru hal yang bisa disebut luar biasa. Dan sedang saya rasakan saat ini.
Sabtu pagi, sebuah workshop kepenulisan diselenggarakan oleh mahasiswa yang tergabung dalam UKM Penulis dan teateru Komunitas UM, di Perpustakaan Umum Kota Malang. Workshop yang menghadirkan pemateri penulis Dwilogi Saman-Larung dan Bilangan Fu, Ayu Utami, diadakan selama dua hari dengan pembahasan topik berbeda.  Workshop hari pertama membahas topik jurnalisme sastrawi, sedangkan di hari kedua adalah menulis cerpen.
Tamales datang, mbak Ayu Utami!
Sebelumnya, para peserta workshop ini diminta oleh pihak panitia acara untuk mengirimkan karya sesuai dengan topik pembahasan. Saya pun mengikuti workshop yang membahasa mengenai jurnalisme sastrawi. Tentunya saya mengirimkan sebuah karya jurnalistik, dalam hal ini esai. Sebenarnya,  esai yang saya kirimkan dengan mepet sekali ini merupakan tugas kuliah salah satu matakuliah di semester lima. Tulisan itu adalah sebuah laporan perjalanan saya bersama bapak dosen dan teman-teman ke Pesarean Gunung Kawi pada bulan Suro tahun lalu. Saya pun mengirimkan esai kepada panitia tanpa ragu, disamping karena sudah terburu waktu, saya pun tidak mengedit tulisan tersebut apalagi mengubah isinya. Dalam hati saya berpikir, meskipun terlambat, lebih baik saya tetap mengirim esai ini sebagai persyaratan entah apapun yang akan terjadi.
Dan benar saja, esai karya saya terpilih. Terpilih untuk dibedah, dikritik, dikomentari. Tahukah jika esai saya berada diantara kelima file yang siap akan dipresentasikan oleh mbak Ayu Utami di sesi bedah karya workshopnya. Adapun yang pertama, ada sebuah karya berjudul mahasiswa baru 2014 sial. Kedua, saya lupa judulnya, tapi yang jelas bercerita tentang hipnotis dan kemalingan. Dan esai saya mendapat giliran  ketiga.
Beruntungnya pada saat itu tidak tersebut siapa nama si penulisnya. Jika nama saya tersebutlah oleh mbak Ayu Utami, oh betapa rasanya wajah saya jangan sampai dipandang oleh orang-orang.
Berikut akan dijabarkan hasil “kontemplasi dan pendalaman” mbak Ayu Utami saat mengkritisi karya esai saya:

Mbak Ayu Utami membaca karya esai saya. Lalu, tahukah komentar yang terucap seusai membaca esai saya di paragraf pertama?. Begini: “sangat tidak menarik di awal, kayak wikipedia.” Dan rasanya itu, seperti spechlees se spechlees-spechleesnya.
  1. Hanya data-data. Tulisan yang tidak tergarap dengan rapi.
  2. Saat saya menuliskan namanya saja sesepuh-sesepuh yang ada di Gunung Kawi tanpa menyebut apa, siapa dan peran mereka, mbak Ayu Utami berkata: Who’s the hell it is?
  3. Ada banyak data tapi tidak bermakna.
  4. Banyak mengulang data yang sudah ada.
  5. Tidak ada tesis/ajuan. Tidak ada usaha-usaha yang mengarah pada bahasa-bahasa rasa sastra.
  6.  Ada kata yang EYD di- yang salah.
  7.  Ada kalimat di tulisan saya yang ambigu. Dan di bagian ini, secara terang-terangan mbak Ayu Utami mengatakan dia pun bingung dengan kalimat yang saya tulis.

Tapi beruntungnya, mbak Ayu Utami di menit-menit terakhir saat membedah esai saya itu masih menjelaskan bagaimana sebaiknya, atau potensi dalam esai saya ini agar dapat menjadi karya jurnalistik sastrawi. Berikut sarannya:
  1. Carilah cerita tentang manusia. Misalnya, cerita tentang manusia yang duduk terpekur menanti jatuhnya daun pohon dewandaru.
  2. Membahas tentang sinkretisme yang terjadi di Kawi, yakni budaya Tionghoa –Jawa.
  3.  Apakah ada perbedaan bulan Suro yang sebenarnya sudah terjadi di setiap tahun.
  4. Setiap data-data atau penjelasan seperti dupa, itu seharusnya dijelaskan apa fungsinya, apakah itu, siapakah tokoh itu.  
  5. Data yang objektif itu jangan ditaruh di depan (awal paragraf).
Sesi akhir dari workshop hari ini, para peserta meminta tanda tangan serta berfoto bersama mbak Ayu Utami. Rasanya cukup beruntung karena tulisan saya sempat dikritisi oleh salah satu penulis populer di Indonesia yang sudah malang melintang di dunia jurnalistik, sastra, serta telah produktif berkarya.

Di Malang, gaya hidup anak mudanya tidak sedikit pula yang lebih memilih untuk nge Mall atau nongkrong di kafe. Ya, saya terkadang juga seperti itu, tapi bisa diitung jari dan bahkan saya lebih memilih membeli buku atau datang ke acara-acara seperti ini. Saya merasa kedatangan saya di acara semacam ini baru benar-benar berarti dan menjadi refleksi agar selalu belajar, belajar, dan melatih menulis dan membaca setiap hari. Saya juga merasa tidak ingin cepat berpuas diri dalam tulis menulis, selalu trial and error dan saat ini sedang semangat-semangatnya mendalami dunia sastra, dan tak lupa media :). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar