Antara Rapid Test, SWAB dan Nam Do San #ceritadaricorona

 

Saya harus memulai cerita ini darimana?

Dua minggu ke belakang saya disibukkan oleh LPJ saya sendiri dan LPJ atasan saya. Saya tidak akan bercerita kerumitan LPJ tersebut. Satu hal pasti, proses LPJ ini harus melewati suatu tahap akhir bernama ACC (paraf tanda tangan). Inilah yang menjadi poin, bahwa kegiatan ini belum bisa dilakukan secara offline. Mengingat, selama ini kami mendapat (privilege) WFH.  Dengan demikian, saya harus datang ke kampus. Its okey, terkadang sekali dua kali waktu merasa rindu mendengar gemericik air mancur depan perpustakaan atau sekedar melihat bunga-bunga kuning di depan rektorat. Tetapi kemudian, menuju kampus serasa berangkat perang. Melawan dan berperang menghadapi pandemi.

We never know, siapa dan apa. Sampai suatu ketika hari Selasa pekan lalu, saya datang menuju lantai 1 fakultas untuk mengurus administrasi. Nahas, ada satu lampiran yang belum tercetak. Bergegas dan terpaksalah saya menuju ke lantai kantor kami. Sebenarnya saya sudah “dicegat” dan dicegah untuk naik ke lantai tsb.  Rekan-rekan saya sudah me-warning bahwa ada petugas kebersihan reaktif sehingga gedung akan segera dilockdown. Namun, lagi-lagi seakan menguji iman dan keyakinan, saya tetap nekat naik. Dengan gagah saya merasa bahwa saya sedang berikhtiar mengerjakan hal baik (akademik). Singkat cerita, saya pun berhasil menyelesaikan urusan cetak-mencetak tadi. Saya kembali naik ke lantai dekanat. Sayang sekali pejabat yang akan memberi validasi sedang tidak di tempat sehingga saya kembali dengan tangan hampa.

Selasa berlalu, esok harinya berita itu dikonfirmasi dan melangkah ke tindak lanjut. Kami diminta untuk melakukan rapid test, di hari Jumat. Hari itu pun tiba! Saya menjalani Rapid test dan admin jurusan yang terakhir berkontak dengan saya dalam urusan cetak-mencetak menjalani SWAB. Pertama kalinya semasa corona ini. Memang seperti melakukan pengambilan darah. Tetapi jujur, darah dan suntikan adalah hal-hal yang membuat saya tidak nyaman.

Hari Sabtu, diinfokan bahwa kami yang menjalani rapid test hasilnya hampir sebagian besar non reaktif. Kata “hampir” yang membuat saya khawatir. Dan benar kemudian, Sabtu sorenya, saya dihubungi pejabat fakultas sebagai konfirmasi bahwa saya telah didaftarkan SWAB. Ya Allah… yang dimasuk-masukkan itu???! sesungguhnya saya juga antara takut dan khawatir. Apa saya non reaktif??? #parnomodeon. Padahal, saya termasuk yang sudah jarang-jarang membaca gejala-gejala corona, jumlah kasus corona dsb. Apa sudah terkena “pandemi informasi”. Entah, mungkin karena perhatian saya sengaja saya limpahkan ke hal-hal Kpop atau fokus pada perkuliahan. Satu-dua pembeda dengan gejala flu dll (meriang, panas, pilek, radang tenggorokan) adalah berkurangnya sensitifitas indra penciuman—katanya tidak bisa membau--. Saya pernah beberap waktu hanya merasa “meriang” namun tidak disertai flu-pilek, atau yang itu tadi. Bau-bau-an harum atau tidak masih bisa saya cium.  Tetapi, apa salahnya juga mencoba supaya yakin bahwa tidak ada virus.

Senin, tiba. Hari dimana menjalani tes SWAB. Biayanya mencapai Rp. 300.000,- dan tes saya ini difasilitasi oleh fakultas. Prosesnya itu tadi, semacam benda seperti “sedotan” atau apa nama medisnya dimasukkan ke kedua lubang hidung. Secara refleks air mata mengalir…tanda bahwa alatnya bekerja. Hasil keluar sekitar jam 2. Dan..alhamdulillah hasil saya negative.

####

Di tengah saya menanti hasil SWAB tadi. Saya lapar dan memutuskan mengunjungi salah satu resto fast food di tengah kota. Di dekat Alun-alun pas di depan toko buku besar. Saya duduk tepat menghadap keramaian jalan dan toko buku itu. Saya juga menatap dari kejauhan toko es krim legendaris. Ingin juga kesana tapi aneh juga “eating ice cream solo”. Saya juga sengaja sedang mencari colokan karena harus mendengarkan rapat kantor daring. Setelah beberapa gigitan ayam goreng, nasi dan coklat hangat ada ambulance datang tepat tiba di toko buku. Saya sungguh tak melihat sesuatu. Baik itu kecelakaan atau seseorang tidak sadarkan diri.

Ambulance ini datang dengan sirine menyala. Suasana sedikit genting dan sedikit orang berkerumun. Innalillahi wainnailaihi rojiun…. Seseorang di atas bed medis itu ditutup jasadnya. Selintas saya dengar dari staf resto menyampaikan beliau meninggal. Entah, kecelakaan jatuh sendiri. Atau mungkin terkena serangan jantung.  Jantung saya juga berdesir seketika saya merasa---perjalanan ke kampus kembali hingga pulang perjalanan ke rumah, mengapa ada banyak ambulance berseliweran yang tertangkap mata kepala saya.

Di perjalanan berangkat ke kampus, yang terlintas di otak adalah, bagaimana jika ada teknologi semacam start-up seperti digagas Nam Do San dkk (beginilah kaum Kdrama baper, just for fun & hiburan--selera pasangan tetap cowok Indonesia dan Indo**e ). Waktu itu mereka membuat aplikasi smartphone yang bisa menscanning benda dan orang  kemudian berbunyi). Bayangkan itu diterapkan dalam hal mendeteksi, menscanning laporan keuangan macam LPJ (saya membayangkan AI-apalah itu) sehingga birokrasi panjang yang meminta ACC banyak orang itu bisa dipangkas namun tetap dalam verifikasi yang sah, legal dan valid. Orang macam saya ini tidak perlu datang ke kampus (sebagaimana panjang lebar saya ceritakan tadi), tetapi cukup mengunggah laporan keuangan, sistem TI berjalan dan voila~ beres!

####

Di kampus pun, di saat menanti hasil SWAB, kejadian yang sebenarnya agak sering menimpa saya. Saya suka lupa. Saya sudah merasa meletakkan kontak sepeda di kantong tetapi apa daya terkadang alpa. Tadi, saya merasa memasukkan kunci ke dalam jaket saya. Jaket saya masukkan ke loker sepeda motor. Duarrr. Saat saya ingin pulang ke rumah, saya mengaduk isi tas. Nihil. Saya mengingat kembali. Oh, seperti itu tadi, kontak ada di jaket. Untungnya, ada penjaga parkir di pos. Saya datangi beliau dan menanyakan apakah ada serepan, atau apapun yang bisa membuka bagian jok sepeda. Solusi 1, saya diberi kontak ahli kunci. Sayang sekali… nomernya sudah expired saat dihubungi melalui WA. Solusi 2, bapaknya bantu saya membuka separuh jok sepeda motor. Kemudian saya menarik jaket saya dengan susah payah dari jok sepeda. Berasa dokter atau bidan yang sedang berusaha mengupayakan persalinan bayi. Sedih, kontaknya tidak ada di jaket. Maapin bapak! Astaghfirullah saya merepotkan.

Saya sudah hampir memilih opsi kedua yakni pulang naik si ojek hijau mengambil serepan kemudian kembali lagi ke kampus. Itu sedikit sulit karena kampus akan tutup, dan Malang macetnya lumayan entah karena ada pembangunan jalan. Saya akhirnya, duduk lagi di pos. Penjaga parkir lalu menyampaikan intinya: coba mba dilacak jejak, mungkin pas jatuh. Akhirnya, saya kembali ke gedung kampus. Saya naik tersengal-sengal ke lantai 4. Saya lacak lagi. Nihil, karena saya merasa benda itu tidak jatuh. Saya pun kembali ke parkir dan si bapak berteriak mba!!!

Sepeda saya tampak sudah bergeser ke arah lain, yang tadinya ke arah grl menjadi ke arah samping rektorat.  Kata si bapak, kontak saya itu ditemukan tepat di bawah sepeda motor. Saya hanya meringis sambil dalam hati syukur Alhamdulillah…

Mungkin ketika saya terburu atau apa entah apa di otak saya, benda kecil itu jatuh atau lolos saat akan dimasukkan ke kantong celana atau jaket. Jadi saya merasa hari Senin ini, iman, imun dan aman sedang diuji.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar