Caps Lock yang Menyala dan Kacamata di atas Rupa

Suasana sendu, bulir hujan tipis-tipis dengan dingin yang tidak terlalu menusuk tulang.

Perkuliahan daring hampir mendekati hari akhir: UAS, Ujian Agak Serius. Itu sebuah guyonan jaman perkuliahan. Kalau UTS, Ujian Tidak Serius. Ini semacam bercandan dan entah mengapa bisa demikian. Apa memang benar begitu? Tetapi..berbicara tentang perkuliahan, semua sudah dibuat di RPS. Segala sesuatu sudah ada indikator dan tujuan ketercapaian. 

Selama semester ganjil ini pula, akan tertulis di sejarah 2020 suatu proses belajar mengajar dihabiskan dengan 100% daring bermodalkan Zoom dan Google. Selama setengah hingga satu jam, mendengarkan suara tanpa wajah. Atau melihat wajah tanpa suara lantaran lupa menyentuh unmute. Dengan dua-tiga kali sehari dan ketika terlalu lelah konon katanya disebut Zoombie. Maka menulis seperti ini bisa menjadi obat. Setidaknya di masa pandemi ini. Jika ditarik ke belakang, saya kembali ke "diary elektronik" setelah tahu mahasiswa melakukan hal sama. Hampir dengan jeda satu bulan satu unggahan. 

Sebelumnya, saya menulis perasaan ketika membaca kalimat di kolom komentar “mbak, suaranya putus-putus.” Suara saya tidak terdengar jelas ketika sedang ber-video conference. Apakah itu terjadi lantaran alat pendukung saya yang usang atau koneksi internet yang tersendat-sendat? Semuanya mungkin dan semuanya dalam naungan dibiayai sendiri. Gundah? Entah. Ketika tulisan ini diketik, di luaran sana pemerintah sedang membagi-bagikan paket BSU (Bantuan Subsidi Upah) untuk guru honorer, dosen non PNS. Tentu ada syarat dan ketentuan. Cara mengeceknya, karena saya di lingkungan perguruan tinggi maka dapat dilihat di laman pddikti. Saya mencoba mengetik nama saya. Muncul, tentu saja. Nama saya tertera dalam kolom bertuliskan “Mahasiswa”, lengkap dengan informasi singkat kelulusan dan nama jurusan ada yang masih tertulis: jurusan Sastra Inggris. Kala itu, angkatan kami memang diintegrasikan dengan jurusan sebelah. Pupus sudah, mengapa saya berharap menerima bantuan tsb? Entah. Saya merasa, ketika kita sedang melalui video conference dan di tengah mendongeng harus restart. Rasanya seperti tidak bermodal, tidak bondo. Mau bagaimana lagi, belum ada akses untuk itu kecuali biaya sendiri.

Jaringan atau sinyal yang putus-putus tadi memang tidak meng-enak-kan. Sebaliknya, apakah lancar akan meng-enak-kan? Tidak selalu.

Hari ini saya menerima masukan, pendapat, feedback (atau mungkin terdengar seperti protes) tentang cara saya mengomentari tulisan-tulisan mahasiswa. Kondisinya adalah saya mengetik komentar saya dengan menyalakan caps lock sehingga yang muncul adalah kalimat-kalimat panjang berbentuk full huruf kapital. Dalam dunia per-teks-an media sosial dan dunia maya, caps lock menandai ekspresi dari si pengirim sebagai marah, emosi dst (bahkan disebut sedang frustasi).Tetapi, dibenak saya, substansi isi komentar lebih penting dibandingkan bentuk teksnya. Baiklah. Marah, emosi, dikata lagi inisiasi apa? Mana seru inisiasi daring! Apalagi menyampaikan komentar dengan nada sarkas, dengan kata-kata pisuhan ala sekebun binatang. Heloow!. Intinya mana ada saya melakukan hal tanpa esensi seperti itu.  Saya sudah melewati riuh menjadi senior ospek sebagai tim malaikat alias tim kakak advisor *peace*. 

Apakah saya bisa dianggap melakukan “kekerasan tekstual”?

Jika merasa tersinggung itu wajar dan manusiawi. Begitu juga saya. Pun bisa tersinggung.

Pertanyaanya, kalau setiap kita video conference hanya saya seorang yang menampilkan video dan mahasiswa tidak menampilkan video dengan alasan yang saya tidak ketahui. Dan saya membiarkan (jika bukan substansial) karena empati saya (serta orang-orang lainnya) mengarahkan pikiran saya pada video conference itu menyedot kuota data (banget). Tetapi akan menjadi pertanyaan selama 14 pertemuan, kuantitas proses video conference dilakukan tidak lebih dari jari-jari kedua tangan ini? Apa tersinggung itu sesuatu yang dilarang dan terlarang bagi saya? Apa saya tahu mahasiswanya hadir masing-masing di tempatnya?

Sejak intens per-daring-an yang dihabiskan di depan layar gawai atau monitor laptop ini, hampir setiap video conference  saya mengenakan kacamata. Apakah masih harus dijelaskan panjang lebar apa kaitan caps lock dengan kacamata?

Lebih baik kita adil sejak pikiran dan, mencoba ber-empati terhadap orang lain.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Harus Bicara

Jika Biaya Kuliah Mahal, Apa yang Harus Kita Jual? (Mengintip Kebijakan UKT Universitas Brawijaya)

Antropologi ditengah Pasar